Jumat, 02 Juli 2010

askep

FORMAT PENGKAJIAN KLINIK
APLIKASI ILMU KEPERAWATAN DASAR
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Keluhan Gangguan Sistem Pernapasan
“Asma Bronchial”

I.DATA DEMOGRAFI
a.Biodata
Nama Pasien : An.O.H
Umur / TTL : 6 tahun / Gorontalo, 1 Januari 2004
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jln. Raya Batudaa, Desa Tabongo Batudaa
Suku / Bangsa : Gorontalo / Indonesia
Pekerjaan : Siswa
Pendidikan : SD
Status Kawin : -
Diagnosa Medis : Asma Bronchial
Tgl. Masuk / Jam : 25 Januari 2010, Pukul 09.00
Tgl. Pengkajian : 27 Januari 2010

b.Identitas Orang Tua
Nama : Ny. S.A
Umur / TTL : 30 tahun / Gorontalo, 14 Februari 1980
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jln. Raya Batudaa, Desa Tabongo Batudaa
Suku / Bangsa : Gorontalo / Indonesia
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : S1 Akuntasi
Status Kawin : Kawin
Hubungan dengan klien : Orang tua

II.RIWAYAT KESEHATAN SEKARANG
Klien masuk rumah sakit dengan alasan sesak napas. Sesak dialami karena klien terkontaminasi dengan debu (alergen debu). Serangan sesak biasanya muncul pada malam hari dan dini hari (shubuh). Sesak ini dialami sejak senin shubuh, sesak dirasakan lebih berat ketika musim hujan/cuaca dingin (perubahan cuaca). Klien akan merasa nyaman jika tidur dengan posisi semi-fowler. Jika serangan sesak datang klien sering mengeluh nyeri pada bagian dada, keluhan lain yang menyertai yaitu batuk berdahak, demam, gelisah dan ada bunyi napas tambahan (mengi/wheezing).

III.RIWAYAT KESEHATAN YANG LALU
Orang tua klien mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit asma sejak umur 5 tahun. Orang tua klien juga mengatakan bahwa anaknya alergi terhadap beberapa jenis makanan seperti kuning telur, udang, dan es. Jika klien mengkonsumsi makanan tersebut maka serangan sesak akan datang lagi.

IV.RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Dalam keluarga klien ada riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan klien yaitu ayah klien sendiri yang meninggal karena penyakit tersebut serta kakek dari ayah klien, sedangkan dari pihak ibu klien semuanya dalam keadaan sehat.
GENOGRAM











Keterangan :

= Laki-laki = Tinggal Serumah

= Perempuan = Klien

= Meninggal

V.POLA KEGIATAN SEHARI-HARI
a.NUTRISI
KONDISI
SEBELUM SAKIT
SAAT SAKIT
Selera makan
Baik
Menurun
Menu makanan
Nasi + Ikan + Sayur
Nasi + Ikan + Sayur
Frekuensi makan
3 x sehari
1 atau 2 x sehari, tidak mau makan
Makanan yang disukai
Udang dan goreng-gorengan
Bubur ayam
Makanan pantangan
Es
Udang, Kuning Telur dan Es
Pembatasan pola makan
Tidak ada
Hanya bisa menghabiskan makanan ± 5 sendok
Cara makan
Disuap
Disuap
Ritual saat makan
Bermain
Berbaring

b.CAIRAN
KONDISI
SEBELUM SAKIT
SAAT SAKIT
Jenis minuman
Air putih dan Susu
Air putih
Frekuensi minum
Sebanyak yang anak minta
IVFD
Kebutuhan cairan
5-6 gelas/hari
1000 cc
Cara pemenuhan
Minum
IVFD Dextrose 5% Nabic = 4 : 1
(14 tetes/menit)

c.ELIMINASI (BAB dan BAK)
KONDISI
SEBELUM SAKIT
SAAT SAKIT

B.A.K
B.A.B
B.A.K
B.A.B
Tempat pembuangan
WC
WC
WC
WC
Frekuensi
5-6 x/hari
1 x/hari
4-8 x/hari
1x/hari
Konsistensi
Warna kuning Jernih
Padat
Warna Kuning Jernih
Padat
Kesulitan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Obat pencahar
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada




d.ISTIRAHAT / TIDUR
KONDISI
SEBELUM SAKIT
SAAT SAKIT
Jam tidur :
Siang
malam

11.00-13.00
20.00-06.00

± 2 Jam
± 5 Jam
Kebiasaan saat tidur
Menghisap jempol
Menghisap jempol
Kesulitan tidur
Tidak ada
Gelisah

e.PERSONAL HYGIENE
KONDISI
SEBELUM SAKIT
SAAT SAKIT
Mandi :
Cara
Frekuensi
Alat mandi

Dimandikan
2 x sehari
Sabun

Di lap basah
1 x sehari
Air hangat
Cuci rambut
Frekuensi
Cara

3 x seminggu
Memakai shampo

Tidak pernah
-
Gunting kuku
Frekuensi
Cara

1 x seminggu
Memakai gunting kuku

1 x seminggu
Memakai gunting kuku
Gosok gigi
3 x sehari
Tidak pernah

f.AKTIFITAS/MOBILITASI
KONDISI
SEBELUM SAKIT
SAAT SAKIT
Kegiatan sehari-hari
Bermain
Tidak ada
Pengaturan jadwal harian
Tidak ada
Tidak ada
Penggunaan alat bantu aktivitas
Tidak ada
Tidak ada
Kesulitan pergerakan tubuh
Tidak ada
Sulit bergerak karena sesak

g.PSIKOSOSIAL
Sebelum sakit :
Anak tinggal dirumah sendiri (orang tua), lingkungan berada di tengah kota, dekat dengan sekolah, ada tempat bermain, klien tidur bersama orang tua (ibu). Hubungan antara keluarga harmonis dan klien diasuh oleh orang tuanya (ibu).
Saat sakit :
Ibu membawa klien ke rumah sakit untuk dirawat inap. Klien belum mampu mengungkapkan mengapa orang tuanya membawanya ke rumah sakit dan penyebab penyakit yang dideritanya. Klien tampak ketakutan, saat perawat mendekati klien menangis menjerit-jerit, terutama saat orang tuanya meninggalkannya sebentar. Klien sangat gelisah dan tidak kooperatif dengan pengobatannya.

h.SPIRITUAL
Sebelum sakit :
klien rajin beribadah seperti sholat berjamaah di masjid dan mengaji.
Saat sakit :
Klien belum dapat melakukan sholat berjamaah di masjid dan mengaji.

i.OLAHRAGA DAN REKREASI
Sebelum sakit :
Klien sering melakukan jogging bersama keluarga (ibu) pada pagi hari serta setiap akhir pekan keluarga klien meluangkan waktu untuk rekreasi bersama ke tempat-tempat wisata.
Saat sakit :
Klien tidak dapat melakukan aktivitas olahraga seperti biasanya (jogging), begitu pula dengan rekreasi.

VI.PEMERIKSAAN FISIK
a.Keadaan umum
Klien tampak lemas dan gelisah
b.Tanda-tanda vital
Suhu badan : 39oC
Nadi : 120 x/menit
Respirasi : 60 x/menit
Tekanan darah : Tidak diukur karena klien sering menangis saat disentuh
Berat badan : 20 Kg
Tinggi badan : 90 cm
c.Sistem Pernapasan
Hidung
Simetris kiri-kanan, Pernapasan cuping hidung (+), Tidak ada sekret/polyp.

Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
Dada
Bentuk dada Barrel Chest, Perbandingan ukuran anterior posterior : transversal = 1:1, gerakan dada mengikuti napas, terdapat retraksi subcostal, intercostal, substernal, penggunaan otot bantu pernapasan (+), suara napas ronkhi (+) di anterior paru, wheezing (+) di bronkhus,.
Clubbing finger (+) 15o.
d.Sistem Kardiovaskuler
Conjungtiva pucat, bibir tidak sianosis, arteri carotis kuat, tekanan vena jugularis tidak meningkat.
Ukuran jantung normal, ictus cordis tidak tampak, suara jantung I,II normal, capillary refill time kurang dari 2 detik.
e.Sistem Pencernaan
Sklera tidak ikterik
Bibir kering dan pecah-pecah
Mulut tidak ada stomatitis
Gaster (nyeri tekan pada palpasi kuadran kiri atas), gerakan peristaltik (+) kesan menurun
Abdomen (hati, ginjal,dan lien) tidak teraba
Tidak terdapat kelainan pada anus.
f.Sistem Indera
Mata
Kelopak mata tidak edema, bulu mata merata, alis tipis, gerakan bola mata mengikuti arah cahaya, dan respon pupil mengecil bila ada cahaya.
Hidung
Fungsi penciuman terganggu yakni sulit membedakan bau karena hidung tersumbat, sekret yang menghalangi penciuman kental.
Telinga
Keadaan daun telinga simetris kiri-kanan, kanal auditoris kotor, ada serumen berwarna kuning, fungsi pendengaran baik yakni menoleh jika dipanggil.
g.Sistem Saraf
1.Fungsi Cerebral
Status mental : susah dikaji karena anak tidak kooperatif
Kesadaran : eyes = 4, Motorik = 6, Verbal = 5
Bicara : klien hanya menangis
2.Fungsi Kranialis
Kranial I
Klien dapat membedakan bau walau sulit
Kranial II
Lapang pandang : gerakan bola mata mengikuti arah cahaya
Kranial III, IV,VI
Gerakan bola mata = 6
Pupil = isokor
Refleks kornea = klien menggerakan mata ke lateral
Kranial V
Sensorik = dikaji tetapi klien tidak memberi jawaban
Motorik = tidak dikaji
Kranial VII
Sensorik = sulit dikaji
Motorik = simetris wajah kiri-kanan saat klien menangis
Otonom = sulit dinilai
Kranial VIII
Pendengaran = menoleh jika dipanggil
Keseimbangan = tidak dikaji
Kranial IX
Sulit dikaji
Kranial X
Gerakan uvula sulit dikaji karena klien menangis terus
Kranial XI
Sternokleidomastoideus = ada tahanan
Trapezius = sulit dikaji karena klien lebih banyak tidur di tempat tidur.
Kranial XII
Mampu menjulurkan lidah ke semua arah
3.Fungsi Motorik
Masa otot : normal
Tonus otot : normal
Kekuatan otot : 4, cukup kuat tapi bukan kekuatan penuh.
4.Fungsi Sensorik
Sulit dinilai, hanya rangsangan nyeri klien yang dapat memberi respon

5.Fungsi Cerebellum
Sulit dinilai
6.Refleks
Sulit dikaji karena klien menangis jika disentuh.
7.Iritasi Meningen
Tanda iritasi meningen tidak ditemukan
h.Sistem Muskuloskeletal
Kepala
Bentuk kepala mesocephal
Vertebra
Lurus, tidak ditemukan lordosis, kifosis, skoliosis, gerakan baik, ROM aktif
Pelvis
Kesan normal
Lutut
Tidak bergerak, tidak kaku, gerakan aktif, Mac Murray Test dan Ballotement Test hasil negatif
Kaki
Gerakan aktif, kemampuan berjalan baik
Bahu/Tangan
Tidak bengkak, ROM aktif
i.Sistem Integumen
Rambut
Warna hitam, tidak mudah tercabut
Kulit
Warna sawo matang, temperatur hangat, kering, tidak ada ruam
Kuku
Warna pucat, tidak mudah patah, kotor
j.Sistem Endokrin
Kelenjar Tyroid tidak nampak dan tidak teraba
Ekskresi urine biasa, tidak ada polidipsi dan poliphagi
Suhu tubuh seimbang, tidak ada keringat berlebihan
Tidak ada riwayat air seni dikelilingi semut
k.Sistem Perkemihan
Tidak ditemukan adanya edema palpebra, moon face, dan edema anasarka
Keadaan kandung kemih normal, tidak ada nocturia, disuria, kencing batu,dan hematuria
l.Sistem Reproduksi
Perempuan
Keadaan labia mayora dan minora bersih
Tidak ada sekret
m.Sistem Imun
Alergi terhadap debu, makanan dan perubahan cuaca
Ada penyakit yang berhubungan dengan perubahan cuaca seperti demam tinggi jika musim hujan, sehingga klien terserang sesak (asma) lagi.

VII.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Selama dirawat, tidak dilakukan pemeriksaan diagnostik

VIII.PENGOBATAN/TERAPI SAAT INI
IVFD Dextrose 5% + Nabic = 4:1 (14 tetes/menit)
Aminofilin : 3 cc (14 tetes/menit)
Dexametasone 2 x 5 mg/IV/12 jam
Ampicilline 4 x 200 mg/IV/6 jam



Gorontalo, 27 Januari 2010
Penyusun


Kelompok 2















DATA FOCUS

Nama Pasien : An. O.H
Umur : 6 tahun
Ruang Rawat : Perawatan anak
DATA SUBYEKTIF
DATA OBYEKTIF
Orang tua klien mengatakan bahwa klien :
Sesak napas
Batuk dengan lendir sulit dikeluarkan
Orang tua klien mengatakan bahwa klien sangat lemah dan selalu menangis
Orang tua klien mengatakan cemas dengan kondisi klien
Orang tua klien selalu bertanya tentang kondisi klien
Seak napas (+)
Penggunaan otot bantu pernapasan
Ekspirasi lebih panjang dari inspirasi
Refraksi subcostal, intercostal, dan substernal
Pernapasan cuping hidung (+)
Batuk (+)
Auskultasi : ronkhi (+)
Wheezing (+)
Tanda-tanda vital
N : 120 x/menit
R : 60 x/menit
SB : 39oC
Ekspresi wajah gelisah
Klien lemah, tonus otot = 4
Bibir klien kering
Klien rewel


ANALISA DATA

Nama Pasien : An. O.H
Umur : 6 tahun
Ruang Rawat : Perawatan anak
No.
DATA
PENYEBAB
MASALAH
1
DS :
Orang tua klien mengatakan bahwa klien :
Sesak napas
Batuk lendir sulit dikeluarkan
Orang tua klien mengatakan bahwa klien sangat lemah dan selalu menangis

DO :
Sesak napas (+)
Refraksi subcostal, intercostal, dan substernal
Wheezing (+)
Auskultasi : ronkhi nyaring (+)
Batuk (+)
Pernapasan cuping hidung (+)
R : 60 x/menit
Intrinsik
Ekstrinsik

Respon imun yang buruk terhadap lingkungan

Merangsang produksi antibody Ig E

Ikatan Ag-Ab

Merangsang parasimpatis saluran napas

Degranulasi sel mast

Pelepasan mediator kimia : histamin

Konstriksi bronkus

Spasme bronkus

Udara terperangkap dalam saccus alveolus

Penurunan ventilasi alveolus

Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas

2














3











4
DS :
Orang tua klien mengatakan bahwa klien sangat lemah

DO :
Klien lemah
Tonus otot : 4








DS :
Orang tua klien mengatakan bahwa klien selalu menangis
Orang tua klien mengatakan cemas dengan kondisi klien

DO :
Ekspresi wajah klien cemas
Klien dan orang tua klien cemas
DS :
Orang tua klien selalu bertanya tentang kondisi klien

DO :
Ekspresi wajah cemas
Penurunan ventilasi alveolus

Difusi gas terganggu

O2 tidak efektif ke jaringan

Hipoksia

Metabolisme menurun

ATP menurun

Kelelahan


Sesak napas

Hospitalisasi

Perubahan status kesehatan

Koping tidak efektif

Kecemasan



Sesak napas

Informasi tidak adekuat tentang kondisi, perawatan, pengobatan

Kurang pengetahuan
Intoleransi aktivitas : kelelahan













Kecemasan











Kurang pengetahuan












DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN

Nama Pasien : An. O.H
Umur : 6 tahun
Ruang Rawat : Perawatan anak
No.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TGL DITEMUKAN
TGL TERATASI
1


2



3


4
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan bronkospasme dan edema mukosa

Intoleransi aktivitas : kelelahan berhubungan dengan hipoksia dan peningkatan kerja pernapasan

Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan disstress pernapasan

Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan
28-01-2010


28-01-2010



28-01-2010


28-01-2010
-


-



-


-









Rabu, 28-01-10


































Kamis 29-01-10

























Kamis 29-01-10























































Jumat 30-01-10


























Jumat 30-01-10














1



































I


























I
























































I



























I







09.00






09.15



09.20




10.00




10.30


10.40


12.00


12.05


12.10


09.00





09.15


11.30




11.45



12.00


12.05


12.10


17.00





17.10


18.10


19.20




19.30




19.45




20.00



22.00


24.05

01.00


04.05


04.30



04.45


06.00


06.15




09.00




09.05


09.10



12.00


12.05


12.10


12.30



12.45


17.00




17.05


18.10


20.00


20.30




20.45


24.00


24.10


01.00


04.00


04.30



04.45
1.Observasi TTV terutama RR tiap 8 jam
H/:
TD : tidak diukur, anak menolak disentuh dgn alat
N : 110 x/menit
R : 50 x/menit
SB : 37,5oC

2.Melakukan auskultasi bunyi napas
H/:
Auskultasi : wheezing (+) di bronchus

3. Mengkaji keefektifan pemenuhan oksigen, terhadap adanya sianosis
H/: - Penggunaan otot bantu pernapasan (+)
- Pernapasan cuping hidung (+)
- Refraksi sub costal, iter costal, substernal

1.Melakukan observasi keadaan umum & tingkat kesadaran klien tiap 8 jam
H/ :
KU :
GCS : 10, E3M5V2
2.Memberikan posisi semi flower dan observasi tiap 8 jam
H/ : Bantal klien di tinggikan saat tidur

6. b. Mempertahankan pemberian O2
H/ : O2 terpasang 1 lt/m melalui nasal kanula

c. Penatalaksanan pemberian aminophilin
H/ : Aminophilin 3cc dalam IVFD : 14 tts/i

a.Penatalaksanaan pemberian kortikosteroid tiap 12 jam
H/ : Deksametasone 2x5 mg/IV/12 jam

b.Penatalaksanaan pemberian anti biotik tiap 6 jam
H/ : Ampicilin 4x200 mg/IV/6 jam

1.Mengkaji/observasi TTV, terutama RR tiap 8 jam
H/ :
N : 100 x/m
P : 48 x/m
S : 36,5 oC

2.Melakukan auskultasi bunyi napas
H/ : Wheezing (+)

4. Melakukan observasi keadaan umum dan tingkat keadaan klien /8 jam
H/ :
KU : lemah
GCS : 15

1.Memberikan posisi semiflower dan observasi tiap 8 jam
H/ : klien pada posisi semiflower dengan menggunakan 2 bantal saat tidur.

2.c. Penatalaksanaan pemberian aminophilin /8 jam
H/ : Aminophilin 3cc dalam IVFD : 14 tts/m

a.penatalaksanaan pemberian kortikosteroid /12 jam
H/ : Deksametason 2x5 mg/ 12 jam

b.penatalaksanaan pemberian antibiotic / 6 jam
H/ : Ampilicilin 4x200 mg/IV

1.Mengkaji / observasi TTV terutama RR /8 jam
H/ :
N : 120 x/m
P : 40 x/m
S : 36 oC

2.Melakukan auskultasi bunyi napas
H/ : Auskultasi : wheezing (+), Ronkhi (+)

6. e. Penatalaksanaan pemberian antibiotic / 6 jam
H/ : Ampicilin 4 x 200 mg/IV

3.Mengkaji keefektifan pemenuhan oksigen, terhadap adanya sianosis
H/ : - Sesak napas masih ada
Pernapasan cuping hidung (+)
Penggunaan otot pernafasan (+)

4.Melakukan observasi keadaan umum dan tingkat kesadaran klien tiap 8 jam.
H/: KU : lemah, anak menangis jika di sentuh
GCS : 15

5.Melakukan observasi posisi semiflower tiap 8 jam
H/:
Klien kembali di tinggikan bantalnya, karena klien merosot turun ke bawah

6.c penatalaksanaan pemberian Aminophilin/8 jam
H/:
Aminophilin 3 cc dalam IVFD : 14 tetes/menit

6.b Mengobservasi pemberian O2
H/: O2 di aff

6.d. Penatalaksanaan pemberian kortikosteroid/12 jam
H/ : Ampicilin 4x200 mg/IV
1.Mengobservasi TTV/ terutama RR/ 8 jam
H/ : TTV tidak di kaji = klien tidur

6. c. Penatalaksanaan pemberian aminophilin/ 8 jam
H/ : Aminophilin 3cc dalam IVFD : 14 tts/m

4. Melakukan observasi keadaan umum adan tingkat kesadaran klien tiap 8 jam
H/ : GCS :15, klien rewel

5. melakukan observasi posisi semifowler/ 8 jam
H/ : klien tidur dengan bantal ditinggikan

6. e. Penatalaksanaan pemberian obat antibiotic/ 6 jam
H/ : Ampicilin : 4x250 mg/IV

2. Mengkaji keefektifan pemenuhan oksigen, terhadap sianosis
H/ : - Pernapasan cuping hidung (+)
- Penggunaan otot bantu pernapasan (+)


1. Mengobservasi TTV terutama RR : /8 jam
H/ : TTV : N :120 x/i
P : 40 x/i
S : 37 oC

2. Melakukan aukultasi bunyi napas
H/ : wheezing (+)

3. Mengkaji keefekifan pemenuhan oksigen,terhadap adanya sianosis
H/ : - Pengunaan otot bantu pernapasan (+)
- Pernapasan cuping hidung (-)

6. c. Penatalaksanaan pemberian aminophilin / 8 jam
H /: - Aminophilin 3 cc dalam IVFD : 14 tetes/menit

d. Penatalaksanaan pemebrian kortikosteroid/12 jam
H/: Dexameton 2x5 mg/IV

e. Penatalaksanaan pemberian antibiotic/6 jam
H /: 4x 200 mg/IV

4. Melakukan observasi keadaan umum dan tingkat kesadaran klien/8 jam
H/: - GCS : 15
Klien : Rewel

5. Melakukan observasi posisi tiap 8 jam
H/: Klien posisi duduk

1. Mengobservasi tanda-tanda vital , terutama respirasi : tiap 8 jam
H/: Tanda-tanda vital : N = 110 x /menit
P = 40 X Menit
S =37o C

2. Melakukan aukultasi bunyi nafas
H/: Wheezing (+)

6.e. Penatalaksanaan pemberian antibiotic tiap 6 jam
H/: Ampicilin 4 x 200 mg/IV

6.c. Penatalaksanaan pemberian aminofilin tiap 8 jam
H/: Aminofilin 3 cc dalam IVFD : 14 tetes / menit

4. Melakukan observasi keadaan umum dan tingkat kesadaran klien tiap / 8 jam.
H/: KU = Lemah, rewel
GCS = 15

5. melakukan observasi posisi semifowler tiap / 8 jam
H/: Klien tidur dengan bantal di tinggikan

6.e. Penatalaksanaan pemberian antibiotic tiap 6 jam
H/: Ampicilin 4x200 mg / IV / 6 jam

6.d. Penatalaksanaan pemberian kortikosteroid tiap 12 jam
H/: Dexametazon 2 x 5 mg / IV /12 jam

1. Mengobservasi tanda-tanda vital terutama : Reabsorbsi tiap 8 jam
H/: Klien tidur saat di kaji

6.c. Penatalaksanaan pemberian Aminophilin tiap 8 jam
H/: Aminophilin 3 ccdalam IVFD = 14 tetes/menit

4. Melakukan observasi keadaan umum klien dan tingkat kesadaran klien tiap 8 jam
H/: KU : Lemah, Klien tidur

5. Melakukan observasi posisi semifowler tiap 8 jam
H/: Klien tidur dengan posisi bantal di tinggikan.
S : - Keluarga / ibu klien mengatakan klien masih sesak napas
- Ibu klien mengatakan klien masih gelisah
O : - sesak napas (+)
- wheezing (+)
- penggunaan otot pernapasan (+)
- pernapasan cuping hidung (+)
- retraksi dada (+)
A: Gangguan Pertukaran Gas
P: Lanjutkan Intervensi 1,2,3,4,5,6

























S : - Keluarga / ibu klien mengatakan klien masih sesak napas walaupun sudah berkurang
- Ibu klien mengatakan klien masih gelisah
O : - sesak napas (+)
- wheezing (+)
- penggunaan otot pernapasan (+)
- pernapasan cuping hidung (-)
- retraksi dada (+)
A: Gangguan Pertukaran Gas
P: Lanjutkan Intervensi 1,2,3,4,5,6








































































S : - Keluarga / ibu klien mengatakan sesak napas anaknya sudah berkurang
- Ibu klien mengatakan anaknya sudah membaik
O : - sesak napas (+)
- wheezing (+)
- pernapasan cuping hidung (-)
- RR : 40 x/i
- GCS : 15, E4M6V5
A: Gangguan Pertukaran Gas
P: Lanjutkan Intervensi 1,2,3,4,5,6
Tambah intervensi : Perawatan saat pulang


RESUME PULANG

Nama klien : An. Oyiz Husain
Umur : 6 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jln raya Batudaa, desa Tabongo Batudaa
Tgl masuk : 25 Januari 2010
Tgl Pengkajian : 27 Januari 2010
Tgl Keluar : 10 Februari 2010
Diagnosa Medis : Asma Bronchial

Keluahan utama / Alasan Masuk :
Sesak napas
Diagnosa Keperawatan yang timbul :
1.Bersihkan jalan napas tidak efektif
2.Gangguan personal hygiene berhubungan dengan anak tidak kooperatif
Tindakan Keperawatan yang dilakukan
1.Bersihkan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
1). Observasi pernapasan dan bentuk pernapasan setiap enam jam :
- Frekuensi
- Adanya ronchi
- Penggunaan otot-otot pernapasan; pernapasan cuping hidung
2). Lakukan perkusi, vibrasi dan postural drainage
3). Bantu klien untuk mengeluarkan sekret
4). Beri posisi yang nyaman yang memudahkan pasien bernapas
5). Anjurkan kepada anak untuk minum air hangat ± 500 cc tiap 8 jam.
6). Kolaborasi
- Pemberian antibiotik
2. gangguan personal hygiene berhubungan dengan anak tidak kooperatif
Bina hubungan saling percaya dengan anak
Anjurkan dan ajarkan kepada keluarga agar anak dimandikan, jika dingin maka di beri air hangat. Tiap pagi dan sore.
Bersihkan dan potong kuku yang panjang
Anjurkan dan ajarkan kepada keluarga klien untuk menjaga kebersihan rambut, kulit kepala, gigi dan telinga.
Beri HE tentang pentingnya kebersihan diri, lingkungan dan pencegahan terhadapa penularan penyakit.

Evaluasi Keperawatan :
Diagnosa Keperawatan yang teratasi :
Tanggal 10 Februari 2010 :
Gangguan personal hygiene berhubungan dengan anak tidak kooperatif
Diagnosa Keperawatan yang belum teratasi :
Bersihkan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
Perencanaan pulang :
1.Menganjurkan kepada ibu klien jika klien batuk lendirnya/sekret dikeluarkan
2.Mengajurkan kepada ibu klien agar anaknya sering diberi minum air hangat terutama jika batuk.
3.Menganjurkan kepada orang tua klien agar melakukan perkusi dan vibrasi pada punggung klien terutama jika batuk.
4.Menginstruksikan untuk tetap mengkonsumsi obat yang di berikan dokter sampai penyakitnya sembuh.
5.Menginstruksikan untuk menjaga kebersihan klien dan lingkungan di sekitar tempat tinggal klien.
Alasan Pulang :
Keluarga kekuarangan biaya dan minta berobat jalan.

FARMAKOLOGI

Makalah Farmakologi

Penisilin

O

L

E

H

Keperawatan B

    Farliyanti Guamo









Fakultas ilmu-ilmu kesehatan dan keolahragaan

Universitas negeri gorontalo

2009/2010




Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah swt karena atas berkat dan karunianyalah sehingga dapat disusun makalah ini dengan judul PENISILIN”

Penyusun menyadari makalah ini masih terdapat kekurangan sehingga saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat diharapkan demi untuk kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua Amien.




Gorontalo,juni 2010

Penyusun












Daftar isi

Kata Pengantar

Daftar isi

Bab I.Pendahuluan………………………………………………………………………………….1

    1. latar Belakang………………………………………………………………….1

    2. Tujuan …………………………………………………………………………1

    3. Rumusan masalah ……………………………………………………………..1

Bab II.Pembahasan…………………………………………………………………….............2

2.1.Definisi dari Antimikroba……………………………………………………….....2

2.2.Pembuatan…………………………………………………………………………2

2.3.Mekanisme Kerja………………………………………………………………….3

2.4.Aktivitas………………………………………………………………………......3

2.5.Penisilin…………………………………………………………………………...4

Bab III Penutup……………………………………………………………………………………...14

3.1.Kesimpulan………………………………………………………………………..4

3.2.Saran……………………………………………………………………………..14






BAB I

PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

Kemoterapika Antibakteri di golongkan atas dasar mekanisme kerjanya dalam zat bakterisid dan zat bakteriasis.

Istilah antibiotika seering kali digunakan dalam erti luas dengan demikian tidak terbatas pada obat-obat antibakteri yang dihasilkan fungi daan kuman (definisi dari Waksman untuk antibiotika 0melainkan juga untuk obat-obat sintesis.Selanjutnya istilah tersebut dengan arti luas yang akan digunanakan dalam pemakaran makalah ini.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar kita sebagai mahasiswa keperawatan dapat mengetahui fungsi serta kerja dari obat penisilin yang selanjutnya dapat diaplikasikan dalam praktek klinis serta untuk menambah ilmu pengetahuan.

1.3.Rumusan Masalah

Mengetahui Definisi dari Antimikroba

Mengetahui Pembuatan

Mengetahui Mekanisme Kerja

Mengetahui Aktivitas

Mengetahui Jenis-Jenis Antimikroba







BAB II

PEMBAHASAN

Antimikroba

2.1 DEFINISI

Antimikroba (L,anti = lawan,mikro = kecil ) Adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,yang memiliki fungsi khasiat kuman,sedangkan toksistasnya bagi manusia relative kecil.Turunan zat tersebut yang dibuat secara semi sintesis termasuk kelompok ini,begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri lazimnya disebut antibiotika.kegiatan antibiosis untuk pertama kalinya ditemukan secara kebetulan oleh dr.Alexander Fleming (Inggris,1928,penisilin ).Tetapi penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan pada permulaan perang Dunia II di tahun 1941,ketika obat-obat antibakteri sangat diperlukan untuk menaggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran.

Kemudian,para peneliti diseluruh dunia memperoleh banyak zat lain dengan khasiat antibiotis.akan tetapi,berhubung dengan sifat toksinnya bagi manusia,hanya disebagian kecil saja yang dapat digunakan sebagai obat.Akan tetapai berhubung dengan sifat toksinnya bagi manusia,hanya sebagian kecil saja yang digunakan sebagai obat.yang terpenting diantaranya adalah streptomisin(1994),kloramfenikol (1947),tetrasiklin (1948),eritromisin (1965) dan doksorubisin (1969),minosiklin (1972),dan tobramisin (1974).

2.2 PEMBUANTANNYA

Lazimnya antibiotika dibuat secara mikrobiologi,yaitu fungi dibiakan dalam tangki besar bersama zat-zat gizi khusus.Oksigen atau udara steril disalurkan kedalan cairan pembiakan guna mempercepat pertumbuhan fungi guna meningkatkan produksi antibiotiknya.setelah diisolasi dari cairan kultur antibiotikum dimurnikan dan aktivitasnya ditentukan.

Antibiotika semisintesis :yaitu apabila pada persemaian (culture substrate )dibubuhi zat-zat pelopor tertentu,maka zat-zat ini diinkorporisasi kedalam antibiotikum dasarnya.hasilnya disebut senyawa semisintesis disebut penisilin-V.

Antibiotika sintesis tidak dibuat lagi dengan jalan biosintesis tersebut,melainkan dengan sintesa kimiawi misalnya kloramfenikol.

2.3 MEKANISME KERJA

Cara kerja terpenting adalah perintangan sintasa protein,sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi,misalnya kloramfenikol,tetrasiklin,aminoglikosida,makrolida,dan linkomisin.selai it beberapa antibiotika bekerja terhadap dinidng sel(penicillin dan selfalosporin) atau membarn sel (polymiksin zat-zat piloyen dan imidazol).

Antibiotika tidak aktif terhadap kebanyakan virus kecil,mungkn karena virus tidak memiliki proses metabolism sesungguhnya melainkan tergantung seluruhnya dari proses tuan rumah.

2.4 AKTIVITASNYA

Pada umumnya aktivitas dinyatakan dengan satuan berat (mg),kecuali zat-zat yang belum dapat diperoleh seratus persen murni dan terdiri dari campuran bebrapa zat misalnya,polimiksin B,Basitrasin,dan nistatin,yang aktivitasnya selalu dinyatakan denngan satuan Internasional(I.U)

Begitu pula senyawa kompleks dari penisilin,yakni prokain dan benzatin penisilin,yakni prokain dan benzatin penisilin.

Penggunaan

Antimikroba digunakan mengobati berbagai jenis infeksi kuman atau juga untuk prevensi infeksi misalnya pada pembedahan besar.secara profilaktis juga diberikan pada pasien dengan sendi klep jantung buatan,juga sebelum cabut gigi.

Penggunaan penting non-terapeutis adalah sebagai stimulan pertumbuhan dalam peternakan sapi,babi dan ayam.efek ini secara kebetulan ditemukan pada tahun 1940-an,tatapi mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas.Diperkirakan antimikroba bekerja setempat didalam usus dengan menstabilisir floranya.Kuman-kuman “buruk” yang merugikan dikurangi jumlah aktivitasnya,sehingga zat-zat gizi dapat dipergunakan lebih baik.Pertumbuhan dapat distimulasi dengan rat-rata 10%.yang digunakan adalah terutama makrolida dan glikopeptida dalam makanan ternak dan jumlahnya kini sudah meningkat sampai lebih dari 3 kali daripada penggunaanya sebagai obat pada manusia.



2.5 JENIS-JENIS ANTIMIKROBA

Dibawah ini akan dibahas berturut-turut kelompok antibiotika

  1. SULFONAMID DAN KOTRIMOKSAZOL

1. SULFONAMID

Sulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia.Penggunaan sulfonamid kemudian terdesak oleh antibiotik.Pertengahan tahun 1970 penemuan kegunaan sediaan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol menigkatkan kembali penggunaan sulfonamide untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu.

  1. Kimia

Sulfonamid berbentuk kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air,tetapi garam natriumnya mudah larut.Rumus dasarnya adalah Sulfanilamid.

  1. Aktivitas Antimikroba

Sulfonamid mempunyai spekrum antibakteri yang luas,meskipun kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik dan strain mikroba yang resisten makin meningkat.Golongan obat ini umunya hanya bersifat bakteriostatik,namun pada kadar yang tinggi dalam urin, sulfonamide dapat bersifat bakterisid.

  1. Spektrum Antibakteri

Kuman yang sensitif terhadap sulfa secara in vitro ialah s. pyogenes,s. pneumonia, beberapa galur Basicilus anthracis dan Corynebacterium diphtheria, Haemophilus influenzae, H. ducreyi, Brucella, vibrio cholerae, nocardia, actinomyces, Calymmatobacterium granulomatis, Chlamydia trachomatis dan beberapa protozoa. Beberapa kuman enterik juga dihambat. Pseudomonas, Serratia,proteus dan kuman-kuman multiresisten tidak peka terhadap obat ini.Beberapa srain E.coli penyebab infeksi saluran kemih telah resisten terhadap sulfonamid,karena itu sulfonamid bukan obat pilihan lagi untuk penyakit infeksi tersebut.

Banyak galur meningokokus ,pnemokokus,stertokokus,stafilokokus dan gonokokus yang sekarang telah resisten terhadap sulfonamid.


  1. Mekanisme Kerja

Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoid acid)untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam nukleat. Sulfonamid merupakan penghambat kompetitif PABA.

PABA

Sulfonamid

Berkompetisi dengan

PABA

Asam dihidrofolat


Trimetoprim


Asam tetrahidrofolat


Purin


DNA

Gambar Mekanisme Kerja Sulfonamid Dan Trimetoprim


Efek antibakteri sulfonamid dihambat oleh adanya darah,nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan trimidin.

Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendri senyawa tersebut)

Dalam sintesis asam folat,bila PABA digantikan oleh sulfonamid,maka akan terbentuk analog asam polat yang tidak fungsional.

  1. Kombinasi Dengan Trimetoprim

Senyawa yang memperlihatkan efek sinergistik paling kuat bila digunakan bersama sulfonamid ialah trimetoprin.Senyawa merupakan penghambat enzim dihidrofolat reduktase yang kuat dan selektif.Enzim ini berfungsi mereduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat,jadi pemberian sulfonamid bersama trimetroprin yang menyebabkan berangkai dalam reaksi pembentukan asam tetra hidrofolat (gambar 39-2).Kombinasi kedua obat ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian lain dari bab ini.

  1. Resistensi Bakteri

Bakteri yang semula sensitive terhadap sulfonamid dapat menjadi resisten secara in vitro maupun in vivo.Resistensi ini biasanya bersifat reversible,tetapi tidak disertai resistensi silang terhadap kemoterapeutik lain .Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi meningkatkan produksi PABA atau mengubaah struktur molekul enzim yang berperan dalam sintesis folat sedemikian rupa sehingga afinitasnya terhadap sulfonamid menurun.

Timbulnya resistensi merupakan factor yang membatasi manfaat sulfonamid dalam pengobatan penyakit infeksi,terutama infeksi yang disebabkan oleh gonokokus, stafilokokus, meningokokus, streptokokus,dan beberapa galur shigella.

  1. Farmakokinetik

Absorbsi

Absorbsi melalui saluran cerna mudah dan cepat,kecuali beberapa macam sulfonamid yang khusus digunakan untuk infeksi local pada usus.Kira-kira 70-100% dosis oral sulfonamid di absorbs melalui saluran cerna dan dapat di temukan dalam urin 30 menit setelah pemberian.Absorbsi terutama terjadi pada usus halus,tetapi beberapa jenis sulfa dapat diabsorbsi melalui lambung.

Absorbsi melalui tempat-tempat lain,misalnya vagina,salurannapas,kulit yang terluka,pada umumnya kurang baik,tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau reaksi hipersensitivitas.


Distribusi

Semua sulfonamid terikat pada protein plasma terutama albumin dalam derajat yang berbeda-beda.Obat ini tersebar keseluruh jaringan tubuh,karena itu berguna untuk infeksi sistemik.Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80% kadar dalam darah.Pemberian sulfadiazin dan suflisoksazol secara sistemik dengan dosis adekuat dapat mencapai kadar efektif dalam CSS (Cairan Serebrospinal) otak.Kadar taraf mantap di dalam CSS mancapai 10-80% dari kadarnya dalam darah ; pada meningitis kadar ini lebih tinggi lagi.Namun oleh karena timbulnya resistensi mikroba terhadap sulfonamid ,obat ini jarang lagi digunakan untuk pengobatan meningitis.Obat dapat melalui sawar uri dan menimbulkan efek antimikroba dan efek toksik pada janin.

Metabolisme

Dalam tubuh,sulfa mengalami asetilasi dan oksidasi.Hasil oksidasi inilah yang sering menyebabkan reaksi toksik sistematik berupa lesi pada kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat.Bentuk asetil pada N-4 merupakan metabolit utama,dan beberapa sulfonamid yang terasetilasi lebih sukar larut dalam air sehingga sering menyebabkan kristaluria atau komplikasi ginjal lain. Bentuk asetil ini lebih banyak terikat protein plasma daripada bentuk asalnya .Kadar bentuk terkonyugasi ini tergantung terutama pada besarnya dosis,lama pemberian,keadaan fungsi hati dan ginjal pasien.

Ekskresi

Hampir semua diekskresi melalui ginjal,baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas. Masa paruh sulfonamid tergantung pada keadaan fungsi ginjal.Sebagian kecil diekskresi melalui tinja,empedu dan air susu ibu.

  1. Klasifikasi,Sediaan dan Posologi

Cara pemberian yang paling aman dam mudah ialah per oral,absorpsinya cepat dan kadar yang cukup dalam darah segera tercapai.Bila pemberian per oral tidak mungkin dilakukan maka dapat diberikan parenteral (IM atau IV).Penggunaan topikal sulfonamid umumya telah ditinggalkan kecuali sulfasetamid untuk mata,mafenid asetat dan Ag-sulfadlazin ntuk luka bakar,serta sulfasalazin untuk kolitis ulseratif.

Dosis obat tergantung dari umur pasien,macam dan hebatnya penyakit,cara pemberian,jenis sulfa daan keadaan fungsi ginjal; dan ini akan diterangkan lebih lanjut pada pembicaraan masing-masing golongan sulfa.

Berdasarkan kecepatan absorpsi dan ekskresinya, sulfonamid dibagi dalam 4 golongan besar :

  1. Sulfonamid dengan absorpsi dan ekskresi cepat, antara lain sulfadiazine dan sulfisoksazol

  2. Sulfonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberikan per oral dan karena itu kerjanya dalam lumen usus,antara lain ftalilsulfatiazol dan sulfasalazin

  3. Sulfonamid yang terutama digunakan untuk pemberian topikal, antara lain sulfasetamid , mefanid, dan Ag-sulfadiazin

  4. Sulfonamid dengan masa kerja panjang,seperti sulfadoksin, absorpsinya cepat dan ekskresinya lambat.


  1. Sulfonamid dengan absorpsi dan ekskresi cepat

Sulfisoksazol

Merupakan prototip golongan ini dengan efek antibakteri kuat. Sulfisoksazol hanya didistribusinya ke dalam cairan ekstrasel dan sebagian besar terikat pada protein plasma.Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2-4 jam setelah pemberian dosis oral 2-4 g.Hampir 95% obat dieksresi melalui urin dalam 24 jam sesudah pemberian dosis tunggal.Kadar obat ini dalam urin jauh melebihi kadarnya dalam darah sehingga mungkin bersifat bakterisid.Kadarnya dalam CSS hanya 1/3 dari kadar dalam darah.

Kelarutan sulfisoksazol dalam urin jauh lebih tinggi daripada sulfadiazin sehingga jarang menyebabkan hematuria atau kristaluria (0,2-0,3 %).Sulfa ini dapat menggantikan golongan sulfa yang sukar larut dan toksik terhadap ginjal.Dosis permulaan untuk dewasa 2-4 g dilanjutkan dengan 1g setiap 4-6 jam,sedangkan untuk anak 150 mg/kg berat badan sehari. Mula-mula diberikan setengah dosis tersebut,kemudian dilanjutkan dengan 1/6 dosis per hari setiap 4 jam (Maksimal 6 g sehari).Sulfisoksazol dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang kadang-kadang bersifat letal.Sediaan sulfisoksazol tersedia dalam bentuk tablet 500 mg untuk pemberian oral.


Sulfametoksazol

Obat ini merupakan derivat sulfisoksazol dengan absorpsi dan ekskresi yang lebih lambat.Dapat diberikan pada pasien dengan infeksi saluran kemih dan infeksi sistematik.Kristal uria lebih sering timbul karena persentase asetilasinya tinggi.

Sulfametoksazol umumnta digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan trimetoprim (di luar negeri ada sediaan tablet sulfametoksazol saja yang mengandung 500 mg zat aktif).

Sulfadiazin

Absorbsi di usus terjadi cepat dan kadar maksimal dalam darah di capai dalam waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal.

Kira-kira 15-40% dari obat yang diberikan diekskresikan dalam bentuk senyawa asetil.Hampir 70% obat ini mengalami reabsorpsi ditubuli.Karena beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam,maka sering timbul kristarulia dan komplikasi ginjal lainnya.Untuk mencegah ini pasien dianjurkan minum banyak air agar produksi urin tidak kurang dari 1200 mL/hari atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan pH urin.

Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g,dilanjutkan dengan 2-4 g dalam 3-6 kali pemberian ; lamanya pemberian tergantung dari keadaan penyakit.Anak-anak lebiah dari umur 2 bulan di beriakan dosis awal setengah dosis/hari kemudian dilsnjutkan dengan 60-150 mg/kg BB (maksimum 6 g/hsri) dalam 4-6 kali pemberian. Sedian biasanya terdapat dalam bentuk tablet 500 mg.

Sulfasitin

Sulfasitin (Sulfacytin) adalah sulfonamid yang ekskresinya cepat untuk penggunaan per oral pada infeksi saluran kemih. Masa paruhnya dalam darah lebih pendek daripada sulfisoksazol (4 jam vs 7 jam). Kadarnya dalam darah lebih rendah dari pada kadar sulfiksolsazol, oleh karena itu hsnya digunakan untuk infeksi saluran kemih. Pemberian dimulai dengan dosis awal 500 mg dilanjutkan dengan dosis 250 mg 4 kali sehari sulfasitin tesedia dala bentuk tablet 250 mg (tidak dipasarkan di Indonesia).



Sulfametizol

Sulfametizol termasuk golongan Sulfonamid yang ekresinya cepat, sehingga kadarnya dalam darah rendah setelah pemberian dosis biasa. Digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih dengan dosis 500-1000 mg dalam 3-4 kali pemberian sehari. Sulfametizol tersedia dalam bentuk tablet 250-500 mg .

Kombinasi Sulfa

Untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kristalrulia dibuat sediaan kombinasi tepat beberapa kombinasi sulfa, misalnya sulfadiazin, sulfanerazin dan sulfa meatazin yang dikenal sebagai trisulfapirimidin. Kombinasi ini tersedia dalam bentuk tablet atau suspense oral. Kombinasi sulfa ini tidak menghasilkan potensi atau perluasan spectrum anti bateri.

  1. Sulfonamid yang hanya diabsorsi sedikit oleh saluran cerna

Sulfasalazin

Obat ini digunakan untuk pengobatan kolitis ulseratif dan enteritis regional dan remotoid artritis.Sulfasalazin dalam usus diuraikan menjadi sulfapiridin yang diabsorpsi dan ekskresi melalui urin,dan 5-aminosalisilat yang mempunyai efek antiinflamasi.Reaksi toksik yang terjadi antara lain Heinz body anemia, hemolisis akut pada pasien defisiensi G6PD , dan agranulositosis. Mual,demam dan artralgia serta ruam kulit terjadi pada 20 % pasien dan desensitisasi dapat mengurangi angka kejadian.Dosis awal ialah 0,5 g sehari yang ditingkatkan sampai 2-6 g sehari.Sulfasalazin tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan bentuk suspense 50 mg/ml.

Suksinilsulfatiazol Dan Ftalilsulfatiazol

Dalam kolon,kedua sulfa ini dihidrolisis oleh bakteri usus menjadi sulfatiazol yang berkhasiat antibakteri dan hampir tidak diabsorpsi oleh usus.Kedua obat ini tidak lagi dianjurkan penggunaannya karena tebukti tidak efektif untuk enteritis.

  1. Sulfonamid untuk Penggunaan Topikal

Sulfasetamid

Natrium sulfasetamid digunakan secara topical untuk infeksi mata.Kadar tinggi dalam larutan 30% tidak mengiritasi jaringan mata,karena pHnya netral (7,4),dan bersifat bakterisid.Obat ini dapat menembus kedalam cairan dan jaringan mata mencapai kadar yang tinggi sehingga sangat baik untuk kongjungtivitis akut maupun kronik.

Meskipun jarang menimbulkan reaksi sentisitisasi,obat ini tidak boleh di berikan pada pasien yang hipersensitif terhadap sulfonamid.

Obat ini tersedia dalam bentuk salep mata 10% atau tetes mata 30%.Pada infeksi kronik diberikan 1-2 tetes setiap 2 jam untuk infeksi yang berat atau 3-4 kali sehari untuk penyakit kronik.

Ag-Sulfadiazin (Sulfadiazin-Perak)

In vitro obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur termasuk spesies yang telah resisten terhadap sulfonamid.Ag-sulfadiazin digunakan untuk mengurangi jumlah koloni mikroba dan mencegah infeksi luka bakar.Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka yang besar dan dalam.Ag dilepaskan secara perlahan sampai mencapai kadar toksik yang selektif untuk mikroba.Namun mikroba dapat menjadi resistin terhadap obat ini.Ag hanya sedikit diserap tetapi sulfadiazin dapa mancapai kadar terapi bila permukaan yang diolesi cukup luas.Walaupun jarang terjadi,efek samping dapat timbul dalam bentuk rasa terbakar,gatal dan erupsi kulit.Ag-sulfadiazin merupakan obat pilihan untuk pencegahan infeksi pada luka bakar.Obat ini tersedia dalam bentuk krim (10 mg/g) yang diberikan 1-2 kali sehari.

Mafenid

Mafenid (Mafenid Asetat) mengandung alfa-amino-p-toluen sulfonamide,digunakan secara topikal dalam bentuk krim (85 mg/g) untuk mengurangi jumlah koloni bakteri dan mencegah infeksi luka bakar oleh mikroba gram positif dan gram negatif.Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka infeksi yang dalam.Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi oleh kandida.Pemberian kim 1-2 kali sehari dengan ketebalan 1-2 mm pada permukaan luka bakar.Sebelum pemberian obat,luka harus di bersihkan.Pengobatan di anjurkan sampai dilakukan pencangkokan kulit.

Mafenid cepat diabsorbsi melalui permukaan luka bakar,kadar puncak tercapai daalm 2-4 jam setelah pemberian.Efek samping berupa nyeri pada tempat pemberian,reaksi alergi dan kekeringan jaringan karena luka tidak dibalut dan metabolit obat menghambat enzim karbonat anhidrase.Urin dapat menjadi alkalis dan dapat terjadi asidosis metabolik yang berakibat sesak nafas dan hiperventilasi.

  1. Sulfonamid Dengan Masa Kerja Panjang

Sulfadoksin

Sulfadoksin adalah sulfonamid dengan masa kerja 7-9 hari.Obat ini digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan pirimetamin (500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin)untuk pencegahan dan pengobatan malaria akibat P.falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Namun karena efek samping hebat seperti gejala Steven-Johnson yang kadang-kadang sampai menimbulkan kematian, obat hanya digunakan untuk pencegahan bila risiko resistensi malaria cukup tinggi. Kombinasi ini juga digunakan untuk pencegahan pneumonia ( Pneumocystis carinii syndrome) pada pasien AIDS ( acquired immuno deficiency syndrome ), meskipun penggunaannya belum luas dan efek sampingnya mungkin hebat.

  1. Efek Samping

Efek samping sering timbul (sekitar 5%) pada pasien yang mendapat sulfonamide. Reaksi ini dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensitisasi, pemakaiannya secepat mungkin dihentikan. Mereka yang pernah menunjukan reaksi tersebut,untuk seterusnya tidak boleh diberi sulfonamid.

Gangguan Sistem Hematopoetik

Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD.Sulfadiazin jarang menimbulkan reaksi ini (0,05 %).Agranulositosis terjdi pada sekitar 0,1 % pasien yang mendapatkan sulfadiazine.Kebanyakan pasien sembuh kembali dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberiann sulfonamid dihentikan. Anemia aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersifat fatal.Hal ini diduga berdasarkan efek mielotoksik langsung.

Trombositopenia berat,jarang terjadi pada pemakain sulfonamid.Trombositopenia ringan selintas lebih sering terjadi.Mekanisme terjadinya tidak diketahui.

Eosinifilia,dapat terjadi dan bersifat reversibel.Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensivitas terhadap sulfonamid.

Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau yang mendapat kemoterapi dengan mielosupreasan sering menimbulkan hambatan sumsum tulang yang bersifat reversibel.

Gangguan Saluran Kemih

Pemakaian sistemik dapat meimbulkan komplikasi pada saluran kemih,meskipun sekarang jarang terjadi karena telah banyak ditemukan sulfa yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol.Penyebab utama ialah pembentukan dan penumpukan kristal dalam ginjal, kaliks, pelvis, ureter atau kandug kemih, yang menyebabkan iritasi dan obstruksi. Anuria dan kematian dapat terjadi tanpa kristaluria atau hematuria; pada otopsi ditemukan nekrosis tubular dan angiitis nerkotikans.

Bahaya kristaluria dapat dikurangi dengan membasakan (alkalinisasi)urin atau minum air yang banyak sehingga produksi urin mencapai 1000-1500 ml sehari. Kombinasi beberapa jenis sulfa dapat pula mengurangi terjadinya kristaluria seperti telah diterangkan diatas. presipitasi sulfadiazin atau sulfamerazin tidak akan terjadi pada pH urin 7,15 atau lebih.

Reaksi Alergi

Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa kelainan morbiliform, skarlantitform , urtikariform, erispeloid, pemifigoid, purpura, petekia, juga timbul eritema nodosum,eritema multiformis tipe Stevens-Johnson,sindrom Behcet,dermatitis eksfoliativ dan fotosensitivitas.Kontak dermatitis sekarang jarang terjadi. Gejala umumnya timbul setelah minggu pertama pengobatan tetapi mungkin lebih dini pada pasien yang telah tersensitisasi. Kekerapan terjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin dan 2% dengan sulfisoksazol.Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum (serum sickness)dapat terjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sulfonamide. Hipersensitivitas sistemik divus kadang-kadang pula terjadi. Sensitivitas hilang dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa.

Demam obat terjadi pada pemakaian sulfonamid dan mungkin juga disebabkan oleh sentsitisasi ; terjada pada 3% kasus yang mendapat sulfitoksazol. Timbulnya demam tiba-tiba padahari ke tujuh sampai pada ke sepuluh pengobatan, dan dapat disertai sakit kepala, menggigil, rasa lemah, pruritus, dan erupsi kulit, yang semuanya bersifat refersibel. Demam obat ini perlu dibedakan dari demam yang menandai reaksi toksik berat misalnya agranulositosis dan anemia hemolitik akut.

Hepatitis yang terjadi pada 0,1 % pasien dapat merupakan efak tiksik atau akibat sensitisasi. Tanda-tanda seperti sakit kepala, mual, muntah, demam, hepatomegali, ikterus, dan gangguan sel hati tampak 3-5 hari setalah pangobatan, dapat berlanjut menjadi atrofi kuning akut dan kematian. Kerusakan pada hepar dapat memburuk walaupun obat dihentikan.

Lain – Lain

1 -2 % pasien mengeluh mual dan muntah yang mungkin bersifat sentral karena meski diberikan parenteral efak ini kadang – kadang juga timbul. Pemberian obat pada bayi dapat menyebabkan pergeseran ikatan bilirubin dengan albumin. Sulfonamid tidak boleh diberikan dapa wanita hamil aterm.

  1. Interaksi Obat

Sulfonamid dapat berinteraksi dengan anti koagulan oral, anti dia betik, sulfonylurea, dan fenitoin. Dalam hal tersebut sulfa dapat memperkuat efek obat lain dengan cara hambatan metabolisme atau pergeseran ikatan dengan albumin. Pada pemberian bersama sulfonamid dosis obat tersebut perlu disesuaikan.

  1. Penggunaan Klinik

Penggunaan sulfonamid sebagai obat pilihan pertama untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu makin tedesak oleh perkembangan obat anti mikroba lain yang lebih efektif serta meningkatnya jumlah mikroba yang resisten terhadap sulfa. Namun peranannya meningkat kembali dengan ditemukannya kotrimuksazol.

Pengguaan topikal tidak dianjurkan karena kurang/tidak efektif, sedangkan resiko terjadi reaksi sensitisasi tinggi, kecuali pemakaian local dari Na-sulfasetamid pada infeksi mata.

Infeksi Saluran Kemih

Sulfonamid pada saat ini bukan lagi obat pilihan utama untuk infeksi saluran kemih, karena jumlah mikroba yang resisten makin meningkat. Namun demikian sulfisoksazol masih efektif untuk pengobatan infeksi saluran kemih dimana prevalensi resistensi mikroba masih rendah atau mikroba masih peka. Obat pilihan lain untuk infeksi saluran kemih antara lain trimetoprim-sulfametoksazol, antiseptic saluran kemih, derivate kuinolon dan ampisilin.

Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol sangat berguna untuk infeksi saluran kemih. Masalah ini akan dibahas pada judul kotrimoksazol.

Disentri Basiler

Sulfonamid tidak lagi merupakan obat terpilih, karena banyak strain yang telah resisten. Obat terpilih sekarang adalah ampisilin atau kloramfenikol. Trimetoprim-sulfametoksazol agaknya masih efektif pada pemberian per oral, meskipun dibeberapa tempat telah terjadi resistensi. Dosis dewasa ialah 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap 12 jam selama 5 hari.

Meningitis Oleh Meningokokus

Banyak strain telah resisten terhadap sulfonamide, sehingga obat terpilih adalah penisilin G, ampisilin, sefolosporin generasi ketiga, atau kloramfenikol. Kemoprofilaksis perlu dipertimbangkan diberikan pada subyek yang berkontak langsung dengan pasien yang terinfeksi meningokokus. Rifampisin merupakan obat terpilih profilaksis. Bila strain penyebabnya sensitive diberikan sulfisoksazol dengan dosis 1 gram setiap 12 jam sebanyak 4 dosis.

Nokardiosis

Sulfonamid sangat berguna untuk pengobatan infeksi oleh Nocardia asteroids. Sulfisoksazol atau sulfadiazine dapat diberikan 6-8 gram per hari sampai beberapa bulan setelah semua gejala hilang. Untuk infeksi yang berat sulfonamide diberikan bersama ampisilin, eritromisin dan streptomisin.

Trakoma Dan Inclusion Conjunctivitis

Walaupun bukan merupakan obat terpilih, pemberian sulfonamide secara oral selama 3 minggu efektif untuk trakoma. Walaupun pemberian topical mensupresi gejala infeksi, eradikasi mikroorganisme tidak tercapai. Infeksi sekunder dengan bakteri piogeinik dapat diobati dengan tetrasiklin topical. Dalam beberapa hari gejala-gejala local akan menghilang. Untuk inclusion conjunctivitis (inclusion blenorrhea) diberikan salep sulfasetamid 10% topical selama 10 hari dapat juga dipergunakan tetrasiklin.



Toksoplasmosis

Infeksi toksoplasmosis gondii paling baik diobati dengan pirimetamin. Tetapi menurut pengalaman, lebih baik bila obat tersebut dikombinasi dengan sulfadiazine, sulfisoksazol atau trisulfapirimidin dosis penuh. Bila terjadi korioretinitis sebaiknya juga diberikan kortikosteroid.

Kemoprofilaksis Dengan Sulfonamid

Sulfonamid juga digunakan sebagai kemoprofilaksis untuk infeksi spesifik dengan bakteri-bakteri yang sensitive terhadap sulfa. Untuk mencegah infeksi maupun kambuhnya demam rematik oleh streptococcus-hemolycus group A, sulfa sama efektifnya dengan penisilin oral. Sulfa tidak dapat membasmi carrier streptokokus, tetapi dapat mencegah timbulnya faringitis dan demam rematik. Tetapi karena toksisitas sulfa dan kemungkinan infeksi oleh streptokokus yang resisten terhadap sulfa, maka penisilin lebih disukai untuk maksud ini. Sulfisoksazol dengan dosis 1 gram, 2 kali sehari digunakan pada pasien yang hipersensitif terhadap penisilin. Dosis untuk anak setengah dari orang dewasa. Bila timbul efek samping yang umumnya terjadi pada 8 minggu pertama pengobatan, maka perlu dilakukan pemeriksaan hitung leukosit setiap minggu selaama 8 minggu. Untuk kemoprofilaksis disentri basiler dengan penyebab shigella, kecuali stain yang telah resisten, dapat digunakan sulfadiazin atau sulfisoksazol 1 sampai 2 gram selama 7 hari. Beberapa penulis menyatakan bahwa infeksi oleh meningokokus yang sensitive dapat dicegah dengan sulfadiazine atau sulfisoksazol. Namun resistensi terhadap obat ini sekarang sangat meningkat. Profilaksis infeksi dengan sulfonamide sewaktu manipulasi misalnya katererisasi, diragukan kegunaannya

2. KOTRIMOKSAZOL

Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam uasaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan kotrimoksazol.

  1. Efek Terhadap Mikroba

Spectrum Antibakteri

Spectrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat daripada sulfametoksazol.

Mikroba yang peka terhadap kombinasi trime toprim-sulfametoksazol ialah ; S. pneumoniae, C. diphtheria, dan N meningitis, 50-59 % strain S. aureus, S. epidermidis, S. pyogenes, S. viridians, S. faecalis, E. coli, P. mirabilis, P. morganii, P. rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonela, Shigela, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiela spesies. Juga beberapa strain stafilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim atau sulfometoksazol sendiri, peka terhadap kombinasi tersebut. Kedua komponen memperlihatkan interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efektif walaupun mikroba telah resisten terhadap tirmetropim. Sinergisme maksimum akan terjadi bila mikroba peka terhadap kedua komponen.

  1. Mekanisme Kerja

Aktifitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamide menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrshidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenin, guanin, dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintensis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar yang optimal dari kedua obat. Untuk kebanyakan kuman, rasio kadar sulfametoksazol : trimetoprim, yang optimal ialah 20 : 1. Sifat farmakokinetik sulfonamide yang dipilih untuk kombinasi dengan trimetoprim sangat penting mengingat diperlukannya rasio kadar yang relative tetap dari kedua obat tersebut dalam tubuh. Trimetropim pada umumnya 20-100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi diformulasikan untuk mendapatkan kadar sulfametoksezol in vivo 20 kali lebih besar daripada trimetoprim.

  1. Resistensi Bakteri

Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimaksazol lebih rendah daripada terhadap masaing – masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen masih peka terhadap komponen lainnya. Resistensi mikroba terhadap trimetropim dapat terjadi karena mutasi. Resistensi yang terjadi pada bakteri gram-negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S. aureus terhadap trimetropim ditentukan oleh gen kromosom, bukan oleh pasmid. Resistensi terhadap bentuk kombinasi juga terjadi in vivo. Pravalensi resistensi E.coli dan S. aureus terhadap kotrimoksazol meningkat pada pasien yang diberi pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut. Selama lima tahun penggunaan resistensi S. aureus meningkat dari 0,4% menjadi 12,6%. Dilaporkan pula terjadinya resistensi pada beberapa jenis mikroba Gram-negatif.

  1. Farmakokinetik

Rasio kadar sulfametoksazol dan trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar 20 : 1. Karena sifatnya yang lipofilik, trimetoprim mempunayi volume distribusi yang besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg dan trimetoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimetoprim = 5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20 : 1.

Trimetoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetropim ditemukan juga di urin. Pada pasien uremia, kecepatan ekskresi dan kadar urin kedua obat jelas menurun.

  1. Sediaan Dan Posologi

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia juga bentuk suspense oral yang mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim/5 mL, serta tablet pediatric yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Untuk pemberian IV tersedia sediaan infuse yang mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim/5 mL. dosis dewasa pada umumnya ialah 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis yang lebih besar. Pada pasien dengan gagal ginjal, diberikan dosis biasa bila klirens kreatinin lebih dari 30 mL/menit; bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24 jam dan bila klirens kreatinin kurang dari 15 mL/menit, obat ini tidak boleh diberikan.

Dosis yang dianjurkan pada anak ialah trimetoprim 8 mg/kg/BB/hari dan sulfametoksazol 40 mg/kg/BB/hari yang diberikan dalam 2 dosis. Pemberian pada anak di bawah usia 2 tahun dan pada ibu hamil atau menyusui tidak dianjurkan.

Trimetoprim juga terdapat sebagai sediaan tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200 mg.

  1. Efek Samping

Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pada orang normal. Namun batas antara toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia relative sempit bila sel tubuh mengalami defisiensi folat. Dalam keadaan demikian obat ini mungkin menimbulkan megaloblastosis, leucopenia, atau trombositopenia. Kira-kira 75% efek samping terjadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh sulfonamid. Namun demikian kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan sulfisoksazol pada penberian tunggal (5,9% vs 1,7%). Dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis jarang terjadi. Gejala-gejala saluran cerna terutama berupa mual dan muntah; diare jarang terjadi. Glositis dan Stomatitis relatif sering. Ikterus terutama terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis kolestatik alergik. Reaksi susunan saraf pusat berupa sakit kepala, depresi dan halusinasi, disebabkan oleh sulfonamid. Reaksi hematologik lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik dan makrositik), gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, purpura Henoch-Schonlein dan sulfhemoglobinemia. Pemberian diuretik sebelumnya atau bersamaan dengan kotrimoksazol dapat mempermudah timbulnya trombositopenia, terutama pada pasien usia lanjut dengan payah jantung; kematian dapat terjadi. Pada pasien AIDS (Aqcuired immune-deficiency syndrome) yang diberi pengobatan kotrimoksazol umtuk infeksi oleh Pneumocystis carinii, sering terjadi efek samping demam, lemah, erupsi kulit, dan/atau pansitopenia.

  1. Penggunaan Klinik

Infeksi Saluran Kemih

Sulfonamid masih berguna untuk infeksi ringan saluran kemih bagian bawah. Tetapi timbulnya resistensi makin meningkat terutama pada bakteri Gram-negatif, sehingga sulfonamide tidak dapat diandalkan untuk pengobatan infeksi yang lebih berat pada saluran kemih bagian atas. Penting untuk membedakan infeksi pada ginjal dan infeksi pada saluran kemih bagian bawah. Pada keadaan pielonefritis akut yang disertai demam hebat dan bila ada kemungkinan timbulnya bakteremia dan syok, sebaiknya jangan diberi pengobatan dengan sulfonamid; tetapi dianjurkan pemberian suatu antimikroba yang bakterisid secara parenteral yangb dipilih berdasarkan uji sensitivitas mikroba dari hasil kultur urin. Sulfonamid digunakan untuk pengobatan sistitis akut maupun kronik, infeksi kronik saluran kemih bagian atas dan bakteriuria yang ansimtomatik. Sulfonamid efektif untuk sistitis akut tanpa penyulit pada wanita. Pengobatan infeksi ringan saluran kemih bagian bawah, dengan kotrimoksazol ternyata sangat efektif, bahkan untuk infeksi oleh mikroba yang telah resisten terhadap sulfonamid sendiri. Dosis 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap 12 jam selama 10 hari menyembuhkan sebagian besar pasien. Efek terapi sediaan kombinasi lebih baik daripada masing-masing komponennya terutama bila mikroba penyebabnya golongan enterobacteriaceae. Pemberian dosis tunggal ( 320 mg trimetoprim dengan 1600 sulfametoksazol) selama 3 hari, juga efektif untuk pengobatan infeksi akut saluran kemih yang ringan. Sediaan kombinasi ini terutama efektif untuk infeksi kronik dan berulang saluran kemih. Pada wanita, efektivitasnya mungkin disebabkan oleh tercapainya kadar terapi dalam secret vaginal. Jumlah mikroba disekitar orificium urethrea menurun sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ulang pada saluran kemih bagian bawah berkurang. Tirmetoprim juga ditemukan dalam kadar terapi pada sekret prostat dan efektif untuk pengobatan infeksi prostat. Dosis kecil (200 mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim per hari atau 2-4 kali dosis tersebut yang diberikan satu atau dua kali per minggu) efektif untuk mengurangi frekuensi kambuhnya infeksi saluran kemih pada wanita. Harus diingat bahwa trimetoprim saja juga cukup efektif untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Dosis dewasa yang umum digunakan ialah 100 mg setiap 12 jam. Untuk memberikan pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut perlu dipertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas mikroba.

Infeksi saluran kemih berulang lebih sukar ditanggulangi daripada infeksi akut. Pengobatan infeksi kronik dengan sediaan kombinasi ini perlu mempertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas mikroba.

Infeksi saluran kemih berulang lebih sukar ditanggulangi daripada infeksi akut; infeksi kronik ini mungkin disebabkan infeksi ulang oleh mikroba lain ataun karena persistensi mikroba yang sama. Infeksi ulang biasanya dapat diatasi dengan antimikroba seperti sulfisoksazol, sedangkan kambuh oleh mikroba yang sama biasanya lebih sukar diatasi dan menunjukkan adanya sumber infeksi yang persisten di saluran kemih bagian atas yang sukar dibasmi. Sebab persistensi ini antara lain : (1) obstruksi yang bersifat funsional atau mekanik yang menghambat pengosongan kandung kemih; (2) resistensi mikroba terhadap antibiotik yang biasa digunakan; (3) gangguan daya tahan tubuh seperti pada pasien diabetes mellitus; (4) kombinasi dari ketiga hal di atas. Mikroba penyebabnya antara lain Escherichia, Enterobacter (Aerobacter), Alcaligenes, Klebsiella, Proteus, kokus Gram-positif (termasuk enterokokus) dan mikroba campuran. Lajub penyembuhan infeksi kronik saluran kemih relatif rendah, apapun antimikroba yang digunakan, dan terapi supresif kronik atau pengobatan intermiten terhadap kambuhnya gejala merupakan tujuan pengobatan yang paling baik. Pengobatan dengan antibiotik pada kasus demikian ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dan pemberian antibiotic jangka lama sering menimbulkan efek samping.

Infeksi Saluran Napas

Kotrimoksazol tidak dianjurkan untuk mengobati faringitis akut oleh S. pyogenes, karena tidak dapat membasmi miroba. Preparat kombinasi ini efektif untuk pengobatan bronchitis kronis dengan eksaserbasi akut. Perparat kombinasi ini juga efektif untuk pengobatan otitis media akut pada anak dan sinusitis maksilaris akut pada orang dewasa yang disebabkan oleh strain H. influenza dan S. pneumoniae yang masih sensitif. Beberapa galur pneumokokus penyebab bakteremia dilaporkan telah resisten terhadap obat ini.

Infeksi Saluran Cerna

Sediaan kombinasi ini berguna untuk pengobatan shigellosis karena beberapa strain mikroba penyebabnya telah resisten terhadap ampisillin. Namun demikian akhir-akhir ini dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap kotrimoksazol. Obat ini juga efektif untuk demam tifoid. Kloramfenikol tetap merupakan obat terpilih untuk demam tifoid, karena prevalensi resistensi mikroba penyebabnya terhadap obat ini masih rendah.

Kotrimoksazol efektif untuk carier S. typhi dan salmonella spesies lain. Dosis yang dianjurkan : 160 mg trimetoprim-800 mg sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 bulan, tetapi dengan dosis ini penyakit masih dapat kambuh. Terjadinya penyakit kronik pada kandung empedu diduga karena kegagalan menghilangkan carier state ini. Diare akut karena E. coli dapat dicegah atau diobati dengan pemberian trimetoprim tunggal atau kotrimoksazol.

Infeksi Oleh Pneumocystis Carinii

Pengobatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 20 mg/kgBB perhari dengan sulfametoksazol 100 mg/kgBB per hari, dalam 3-4 kali pemberian) efektif untuk pasien infeksi yang berat pada pasien AIDS. Beberapa hasil penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan dengan dosis kecil efektif untuk pencegahan infeksi pneumocystis carinii pada pasien neutropenia.

Infeksi Genitalia

Karena resistensi mikroba, kotrimoksazol tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan gonore. Pemberian eritromisin 500 mg 4 kali sehari selama 10 hari atau 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol per oral dua kali sehari selama 10 hari efektif untuk pengobatan chancroid.

Infeksi Lainnya

Infeksi oleh jamur nokardia dapat diobati dengan kombinasi ini. Banyak laporan mengemukakan bahwa sulfametoksazol mungkin efektif untuk pengobatan bruselosis bahkan bila ada lesi local seperti arthritis, endokarditis atau epididimorkitis. Dosis yang diberikan berkisar antara 2 tablet (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim) tiga kali sehari selama 1 minggu diikuti dengan 2 tablet per hari selama 2 minggu sampai 4-8 tablet per hari selama 2 bulan. Sebagian besar pasien sembuh terutama setelah pemberian rangkaian dosis yang disebut terakhir, namun 4% pasien kambuh dengan rangkaian dosis tersebut. Pemberian kotrimoksazol secara IV dengan karbenisilin ternyata efektif untuk pengobatan infeksi pada pasien neutropenia. Trimetoprim-sulfametoksazol juga berguna untuk pengobatan berbagai penyakit infeksi berat pada anak. Strain S. aureus yang telah resisten terhadap metisilin mungkin masih peka terhadap kotrimoksazol, tetapi vankomisin masih tetap merupakan obat pilihan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh S. aureus yang telah resisten terhadap metisilin.


  1. ANTISEPTIK SALURAN KEMIH

Berbagai obat antimikroba tidak dapat di gunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang berasal dari saluran kemih karena bioavailabilitasnya dalam plasma tidak mencukupi. Tetapi pada tubuli renalis, obat-obat ini akan mengalami pemekatan dan berdifusi kembali ke parenkim ginjal sehingga bermanfaat untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Oleh Karena kadarnya hanya cukup tinggi pada saluran kemih saja., maka antimikroba seperti ini sering dianggap sebagai antiseptic local untuk infeksi saluran kemih yang bekerja di mukosa saluran kemih.

  1. METENAMIN

Kimia

Metenamin atau heksamin adalah heksametilentetramin. Dalam suasana asam, metenamin terurai dan membebaskan formaldehid yang bekerja sebagai antiseptik saluran kemih. Formaldehid mematikan kuman dengan jalan menimbulkan denatursi protein.

Reaksi ini berlangsung baik pada pH yang rendah. Pada pH lebih dari 7.4 obat ini tidak efektif.

Efek Antimikroba

Metenamin aktif terhadap berbagai jenis mikroba. Kuman gram negative umumnya dapat dihambat dengan metenamin, kecuali Proteus karena kuman dapat mengubah urea menjadi amonium hidroksida yang menaikkan pH sehingga menghambat perubahan metenamin menjadi formaldehid.

Karena tidak terjadi resistensi kuman terhadap formaldehid, efektivitas metenamin tetap baik.

Efek Samping Dan Kontraindikasi

Metenamin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati karena dalam lambung obat ini membebaskan ammonia. Iritasi lambung sering terjadi bila di berikan dosis lebih dari 500 mg per kali.

Dosis 4-8 gr sehari selama lebih dari 3 minggu mungkin menimbulkan iritasi kandung kemih, proteinuria, hematuria dan erupsi kulit. Oleh karena itu dosis harus segera di turunkan bila urin telah steril.

Metenamin jangan diberikan bersama sulfonamide karena dapat menimbulkan kristaluria. Selama pengobatan dengan metenamin, pasien harus menghindarkan diri dari makanan atau obat yang dapat meningkatkan pH urin misalnya susu, antacid.


Sediaan Dan Posologi

Metenamin dan metenamin mendelat tersedia dalam bentuk tablet 0.5 gr. Dosis untuk orang dewasa ialah 4 kali 1 gram/hari, diberikan setelah makan dosis untuk anak kurang dari 6 tahun ialah 50 mg /kgBB/hari yang dibagi dalam beberapa dosis.

Indikasi

Obat ini digunakan untuk profilaksis terhadap infeksi saluran kemih brulang, khususnya bila ada residu kemih. Metenamin tidak di indikasikan untuk infeksi akut saluran kemih.

  1. ASAM NALIDIKSAT

Kimia

Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Kelarutan dalam air rendah sekali, tetapi mudah larut dalam hidroksida alkali dan karbonat.

Spektrum Antimikroba

Asam nalidiksat bekerja dengan menghambat enzim DNA girase bakteri dan biasanya bersifat bakterisid terhadap kebanyakan kuman pathogen penyebab infeksi saluran kemih. Obat ini menghambat E. coli, proteus spp., Klebsiella spp. Dan kuman-kuman koliform lainnya. Pseudomonas spp. Biasanya resisten.

Resistensi terhadap asam nalidiksat tidak dipindahkan melalui plasmid (factor R), tetapi dengan mekanisme lain. Resistensi terhadap asam nalidiksat telah menimbulkan masalah klinik.

Farmakokinetik

Pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap. Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 20-50 mikrogram/mL, tetapi 95% terikat dengan protin plasma. Dalam tubuh, sebagian dari obat ini akan di ubah menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba.




Efek Samping Dan Kontraindikasi

Pemberian asam nalidiksat per oral kadang-kadang menimbulkan mual, muntah, ruam kulit dan urtikaria. Diare, demam, eosinofilia, dan fotosensivitas kadang-kadang timbul, walaupun hal ini jarang terjadi dan diduga karena defisiensi enzim G6PD.

Gejala SSP dapat berupa sakit kepalam, vertigo dan kantuk. Pada anak dan bayi mendapat asam nalidiksat dosis tinggi, dapat timbul kejang yang mungkin disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakaranial. Efek samping ini dapat pula timbul bila obat diberikan kepada pasien parkinsonisme, epilepsy dan gangguan sirkulasi darah pada otak.asam naliksidat tidak boleh diberikan pada bayi berumur kurang dari 3 bulan juga pada trimester 1 kehamilan.

Sediaan Dan Posologi

Asam naliksidat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg. dosis untuk orang dewasa iala 4 kali 500 mg/hari. Obat ini di kontraindikasikan pada wanita hamil trimester pertama dan juga anak prapubertas.

Indikasi

Asam nalidiksat di gunakan untuk menobati infeksi saluran kemih bawah tanpa penyulit (misalnya sistisis akut). Obat ini tidak efektif untuk infeksi saluran kemih bagian atas, misalny pielonefritis.

Dengan ditemukannya fluorokuinolon (spirofloksasin, ofloksasin, dll.) yang mempunyai daya antibakteri dan sifat farmakokinetik yang lebih baik,tampaknya asam nalidiksat tidak akan banyak digunakan lagi di masa yang akan dating.

  1. NITROFURANTOIN

Kimia Dan Efek Antibakteri

Nitrofurantoin ada antiseptic saluran kemih derivate furan. Obat ini efektif untuk kebanyakan kuman penyebab infeksi saluran kemih seperti E. coli, proteus, sp., klebsiella, enterobacter, enterococcus, dll. Untuk Proteus mirabilis dan pseudomonas obat ini kurang efektif. Resistensi dapat bekembang melalui pemindahan plasmid.



Farmakokinetik

Nitrofurantoin diserap dengan cepat dan lengkap melalui saluran cerna. Pemberian bersama makanan bukan hanya mengurangi kemungkinan terjadinya iritasi lambung tapi juga mempertinggi biovailabilitasnya.

Setelah diserap, obat ini terikat kuat dengan protein plasma dan cepat di ekskresi melalui ginjal sehingga kada obat bebas dalam darahtidak dapat mencapai kadar terapi. Masa [aruhny dalam serum hany 20 menit dan kira-kira 40% obat ini di ekskresi dalam bentuk asalnya, sehingga didapatkan kadar yang cukup tinggi dalam urin bila faal ginjal cukup baik.

Bila klirens kreatinin kurang dari 40 ml/menit maka kadar obat dalam urin tidak cukup tinggi, sebaliknya terjadi akumulasi dalam darah sehingga kemungkinan terjadinya intoksikasi juga lebih besar. Dengan demikian nitrofurantion tidak boleh di berikan pada pasien gagal gijal.

Nitrofurantion menyebabkan urin berwarna agak coklat.

Efek Samping Dan Kontraindikasi

Efek samping yang paling sering di jumpai ialah mual, muntah dan diare. Keluhan-keluhan ini dapat dikuranngi dengan pemberian bersama makanan atau susu. Reaksi hipersensivitas mungkin timbul berupa demam, leucopenia, granulositopenia, anemia hemolitik, ikterus kolekstatik dan kerusakan hepatoselulerr. Selain itu dapat timbul pneumonitis akibat reaksi alergi dan fibrosis pulmonus interstinal (jarang sekali terjadi).

Efek samping lain yang mungkin timbul iallah kelainan neurologic seperti sakit kepala, vertigo, kantu, nistagmus, dan nyeri otot. Kelainan-kelainan lain bersifat sementara. Polineuropati lebih mudah terjadi pada pasien dengan gangguan faal ginjal, anemia, diabetes, defisiensi vitamin b kompleks atau gangguan keseimbangan elektrolit.

Netrofurantion di kontraindikasikan pda gangguan faal ginjal dengan klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit. Obat ini jga dikontraindikasikan pada gangguan faal ginjal bagi wanita hamil aterm dan bayi berumur kurang dari 3 bulan, karena dapat menimbulkan anemia hemolitik.



Sediaan Dan Posologi

Nitrofurantion tersedia dalam bentuk kapsul atau tablet 50-100mg. dosis untuk orang dewasa ialah 3-4 kali 50-100 mg/hari. Untuk anak diberikan dosis 5-7 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam beberapa dosis. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.

Penggunaan Klinik

Nitrofurantion efektif untuk mengobati bakteriuria yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih bagian bawah. Penggunaanya terbatas untuk tujuan profilaksdis atau pengobatan syupresif infeksi saluran kemih menahun, yaitu setelah kuman penyebanya dibasmi atau dikurangi dengan antimikroba lain yang l;ebih efektif.

Hidroksimetilnitrofurantion digunakan dengan indikasi yang sama dengan nitrofurantion. Dosisnya 4 kali 40 mg sehari per oral.

  1. FOSFOMISIN TROMETAMIN

Obat ini bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin aktif terhadap kuman gram-positif maupun gram-negatif. Biovailabilitasnya pada pemberian oral hanya 37%. Pemberian bersama makanan akan mengurani penyerapan obat ini sebanyak 30%. Obat ini tidak terikat dengan protin plasma. Masa paruh eliminasinya sekitar 5.7 jam. Ekskresi renal obat ini ialah 38%. Fofomisin tidak mengalami metabolism dalam tubuh dan di keluarkan dalam urin dan tinja sebagai induknya.

Obat ini di indikasikan untuk infeksi saluran kemih tanpa komplikasi (sistisis akut0 pada wanita yang di sebabkan oleh E.coli dan e.faecalis. efek samping yng di hubungkan dengan penggunaan obat ini ialah diare, mual, sakit kepala, dan vaginitis. Obat ini dapat di berikan pada wanita hamil. Fosfomisin trometamin tersedia sebagai bubuk dalam sachet berisi 3 g yang harus di campur dengan air kurang lebih 100 ml dan diminum sebagai dosis tunggal. Air panas tidak boleh digunakan untuk pelarut obat ini. Obat yang telah dilarutkan harus segera di minum.

ANTIMIKROBAKTERIA ATIPIK

Mikrobakteria atipik tidak ditularkan dari manusia ke manusia, penyakit yang ditimbulkan oleh kuman ini umumnya kurang berat dibadingkan tuberkulosis. Pada umumnya obat antituberkulosis kurang aktif terhadap mikrobakteria atipik, sedangkan antibiotik eritromisin, sulfonamid dan tetrasiklin yang aktif terhadap mikrobakteria atipik ternyata tidak aktif pada tuberkulosis.

  • Antibiotik Makrolid

Mycrobacterium avium compleks ( MAC ), yang mencakup M avium dan M intracelullare, peyebab tersering dan peting dar penyakit pada penyakit desiminasi stadium lanjut pada AIDS. Kombinasi beberapa obat diperlukan untuk mengatasi penyakit ini. Infeksi MACdiseminasi sangat sulit untuk disembuhkan. Penggunaan kombinasi berbagai obat akan menimbulkan berbagai efek samping yang sulit dikelola.

  • Rifabutin

Rifabutin dosis sekali sehari 300 mg telah terbukti meurunkan insidens bakteremia M avium compleks pada pasien AIDS.

Mikobakteria atipik tidak di tularkan dari manusia ke manusia. Penyakit yang di timbulkan oleh kuman ini umumnya kurang berat di bandingkan tuberculosis. Pada umunya obat antituberkulosis kurang aktiv terhadap mikobakteria atipik, sedangkan antibiotic eritromisin, sulfonamide dan tetrasiklin yang aktif terhadap tuberculosis. Seperti mikrobakteria lain, mikobakteria atipik juga cepat timbul resistensi terhadap penggunaan obat tunggal, sehingga harus di beri obat dalam kombinasi. M.kansaii peka terhadap rifampisin dan etambutal, tetapi kurang peka terhadap INH dan resisten penuh terhadap pirazinamid. Pada tabel 40-1 tercantum obat-obat yang diindikasi untuk infeksi oleh barbagai mikobakteria apitik.

Antibiotik Makrolid

Mycobacteium avium complex (MAC), yang mencakup M. avium dan M. intracellular, penyebab tersering da n penting dari penyakit diseminasi pada stadium lanjut pada AIDS (CD4 <>M.avium complex kurang peka di banding M. tuberculosis terhadap kebanyakan antituberkulosis. Kombinasi beberapa obat diperlukan untuk mengatasi penyakit ini. Infeksi MAC diseminasi sangat sulit untuk dapat di sembuhkan dan bila CD4 <>

Klaritromisin dan azitromisin merupakan obat yang penting untuk pengobatan infeksi MAC dan mikobakteria nontuberkulosis lain. Klaritromisin dapat berinteraksi dengan obat-obat yang di metabolisme oleh system enzim P450. Farmakologi antibiotic makrolid di bahas di bab 45 di buku ini. Klaritomisin in vitro lebih aktif di bandingkan azitromisin terhadap bakteri MAC, tetapi secara klinis tidak berpengaruh karena kadar azitromisin di jaringan jauh melebihi kadar dalam darah, sehinggga melebihi KHM MAC. Untuk pengobatan MAC klaritomisin maupun azitromisin tidak boleh di berikan sebagai monoterapi karena akan timbul resistensi pada penggunaan jangka panjang.

Rifabutin

Rifabutin dosis sekali sehari 300 mg telah terbukti menurunkan insidens bakteremia M. avium complex pada pasien AIDS dengan CD4 <>


  1. TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK

  1. TUBERKULOSTATIK

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis di golongkan atas dua kelompok, yaitu kelompok obat lini pertama dan lini kedua. Kelompok obat lini pertama yaitu, isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksitas yang dapat diterima. Antituberkolosis lini kedua adalah antibiotik golongan fluorokulnolon ( siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kepromisin, dan paraaminosalisilat.

1.1 Isoniazid

Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat INH, hanya satu derivatnya menghambat pembelahan kuman tuberkolosis yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksik baut manusia.

  • Efek Antibakteri

Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkolostatik dan tuberkolosid dengan KHM ( Kadar Hambat Minimum ) sekitar 0.025-0.05µg/ml. Pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali. Efek bakterisidnya haya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Pada hewan ternyata aktifitas isoniazid lebih kuat dibandingkan streptomisin, isoniazid dapat menembus kedalam sel dengan mudah.

  • Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesisi yang diajukan, diantaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat dan glikolisis.

  • Resistensi

Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan denga adaya kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Peggunaan INH juga dapat menyebabkan timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalambeberapa minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan.

  • Farmakokinetik

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Isoniazid muda berdifusi kedalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat degan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Antara 75-95 % isiniazid di ekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dn hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi teutama dalam bentuk asetil isoniazid.

  • Efek samping

Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbetuk morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik dengan atropi dapat juga terjadi. Isoniazid juga dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular.

  • Status dalam Pengobatan

Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe tuberkolosis. Efek samping dapat dicegah dengan pemberian peridoksin dan pengawasan yang cermat pada pasien. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan berasama obat lain, untuk tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal.

1.2 Rifampisin

Rifampisin adalah derivat semisetetik rifamisin B yaitu salah satu kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin.

  • Aktivitas Antibakteri

Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram negatif. Terhadap kuman gram positif kerjanya tidak sekuat penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat dari eritomisin, linkomisin dan sefalotin. Terhadap kuma gram negatif kerjanya lebih lemah dari tetrasiklin, kanamisin.

  • Farmakokinetik

Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapanya dihambat oleh adanya makanan sehinnga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam saluran empedu berbentuk diasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas atibakteri penuh. Obat ini berdifusi baik ke berbagai jaringa termasuk ke cairan otak.

  • Efek Samping

Rifampisin jarang menimbulkan efek yag tidak diingini. Dengan dosis biasa, kurang dari 4 % pasien tuberkolosis mengalami efek toksik. Yang paling sering ialah ruam kulit, demam, mual da muntah.

  • Interaksi Obat

Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehinnga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid dan kontrasepsi oral akan berkurang evektivitasnya bila di berikan bersama rifampisin.

  • Status dalam Pengobatan

Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pegobatan tuberkolosis dan sering digunaka bersama isoniazid untuk terapi tuberkolosis jangka pendek. Efek sampingnya beraneka ragam, tetapi insidensnya rendah dan jarang sampai menghentikan terapi.

  • Sediaan dan Posologi

Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/ 5 ml rifampisin. Beberapa sediaan dikombinasikan dengan isoniazid.

    1. Etambutol

  • Aktivitas Antibakteri

Hampir semua galur M. tuberkolosis da M. kansasli sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkolosis yang telah resisten terhadap isiniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintetis metabolit sel sehinnga metabolisme sel terhambat dan sel mati.

  • Farmakokinetik

Pada pemberian oral sekitar 75-80 % etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dalam waktu 24 jam, 50 % etambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10 % sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat.

  • Efek Samping

Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Efek samping yang paling peting adalah gagguan penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neoritis retrobulbar yang berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna dan lainnya.

  • Status dalam Pengobatan

Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkolosis dan menggantikan tempat asam para amino Sali silat karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya dan dapat diterima dalam terapi.

  • Sediaan dan Posologi

Di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang dicampur dengan isoiazid dalam betuk kombinasi tetap.

    1. Pirazinamid

Pirazinamid adalah analog niklatinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air.

  • Aktivitas Antibakteri

Piranizamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam.

  • Farmakokinetik

Piranizamid mudah diserap di usus da tersebar luas keseluruh tubuh. Dosis 1 gr menghasilkan kadar plasma sekitar 45 µg/ml pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomelurus. Asam pirazinoat yag aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupaka metabolit utama.

  • Efek Samping

Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Efek samping lain adalah artralgia, anoreksia, mual dan muntah, juga disuria, malaise dan demam.

  • Sediaan dan Posologi

Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 50 mg. Dosis oral ialah 20-35 mg./kgBB sehari.

  • Status dalam Pengobatan

Sejak pengobatan tuberkolosis jangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat primer, obat ini lebih aktif pada suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam sel makrofag.

    1. Streptomisin

Streptomisin ialah antituberkolosis pertama yang secara kliik dinilai efektif.

  • Aktivitas Antibakteri

Streptomisin in Vitro bersifat bakteriostatik da bakterisid terhadap kuman tuberkolosis. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi kecairan intrasel.

  • Resitensi

Dalam populasi yang besar selalu terdapat kuman yang resisten terhadap streptomisin. Secara umum dapat dikatakan bahwa makin lama terapi denga streptomisin belangsung, makin meningkat resitensinya.

  • Farmakokinetik

Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk dalam eritrosit. Stretomisin kemudian meyebar keseluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisi di ekskresi melalui filtrasi glomelurus.

  • Iteraksi Obat

Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromoskular berupa potensial penghambatan. Selain itu interaksi juga terjadi denga obat lainyang juga bersifat ototoksik.

  • Sediaan dan Posologi

Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gr.

    1. Fluorokuinolon

Selain aktivitasnya terhadap berbagai gram positif dan gram negatif siprofloksasin, ofloksasin, dan levoflaksasin mempuyai aktivitas yang baik terhadap M. tubercolosis sehingga digunakan dalam pengobatan tuberkulosissebagai obat lini kedua.


    1. Asam Paraaminosalisilat

Paraaminosalisilat ( PAS ) merupakan obat yang sering dikombinasikan dengan anti tuberkolosis yang lain.

  • Aktivitas Antibakteri

Obat ini bersifat bakteriostatik. Sebagian besar mikrobakterium atipitik tidak dihambat oleh obat tersebut. Efektivitas obat ini kurang jika dibandingkan dengan isoniazid, streptomisin dan rifampisin.

  • Mekanisme Kerja

Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfonamide. Karena sulfonamide tidak efektif terhadap M tuberkulosis dan PAS tidak efektif terhadap kuman yag sensitif terhadap sulfonamide.

  • Resistensi

Secara umu resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibadingkan terhadap streptomisin.

  • Farmakokinetik

PAS mudah diserap melalui saluran cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi dalam berbagai cairan tubuh kecuali dalam cairan otak.

  • Efek Samping

Insidens efek samping pada pemberian PAS hampir mencapai 10 , gejala yang agak menonjol ialah mual dan gangguan saluran cerna lainnya. Pada keadaan tertentu dapat timbul hemolisis.

  • Sediaan dan Posologi

PAS terdapat dalam bentuk tablet 500 mg yang diberikan dengan dosis oral 8-12 g sehari, dibagi dalam beberapa dosis.

    1. Sikloserin

Sikloserin merupkan antibiotik yang dihasilkan oleh Stretomyces orchidaceus, dan sekarang dapat dibuat secara sintetik.

  • Aktivitas Antibakteri

In vitro sikloserin menghambat pertumbuhan M tuberculosis pada kadar 5-20 µg/ml melalui penghambatan sintesis dinding sel.

  • Farmakokinetik

Setelah pemberian oral absorpsinya baik, kadar puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Distribusi dan difusi keseluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Ekskersi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah pemberian obat dan 50 % di ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama.

  • Sediaan dan Posologi

Sikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari.

  • Efek Samping

Efek samping yang palig sering timbul dalam pegguanaan sikloserin ialah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan.

    1. Etionamid

Etionamid merupakan turunan tiosonikotinamid. Zat ini berwarna kuning dan tidak larut dalam air.

  • Aktivitas Antibakteri

In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M tuberculosis jenis human. Resistensi mudah terjadi bila dosis kurang tinggi atau obat ini diguakan sendiri.

  • Farmakokinetik

Pada pemberian peroral etionamid mudah diabsorpsi. Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas dan merata keseluruh jaringan dan cairan tubuh. Ekskresi berlangsung cepat dan terutama dala bentuk metabolitnya haya 1 % dalam betuk aktif.

  • Efek Samping

Efek samping yang paling sering dijumpai adalah aoreksia, mual dan muntah.sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat, depresi mental, mengantuk dan asthenia.

  • Sediaan dan Posologi

Etionamid tedapat dalam betuk tablet 250 mg. Dosis awal ialah 2 kali 250 mg perhari.

  • Status dalam pengobatan

Etionamid merupakan antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi dengan antituberkulosis lain bila obat primer tidak efektif lagi.

    1. Kanamisin dan Amikasin

Kedua obat ini termasuk antibiotik golongan aminoglikosida.


  • Kanamisin

Kanamisin telah lama digunakan sebagai antituberkulosis lini – kedua untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri yang sudah resiste terhadap streptomisin, tetapi semenjak ditemukan amikasin da kapreomisin yag relaitif kurang toksik, maka kini telah ditinggalkan.

  • Amikasin

Amikasin adalah semisintetik kaimasin dan lebih resisten terhadap berbagai enzim yang dapat merusak aminoglikosida lain.

Farmakokinetik : melalui salura cerna amikasin tidak diabsorpsi. Melalui suntikan intramuskular dosis 500 mg/12 jam.

    1. Kapreomisin

Kapreomisin adalah suatu antituberkulosis polipeptida yang dihasilkan juga oleh Streptomyces Sp.

  • Efek Samping

Kapreomisin merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audometrik dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberiannya. Efek samping lain adalah hipoglikemia, memburuknya angka-angka uji fungsi hati dan lainnya.

  • Status Dalam Pengobatan

Kapreomasin hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain.

    1. Rifabutin ( Ansamisin )

Rifabutin suatu antubiotik derivat rifamisi seperti juga rifampisin dan rifapentin. Obat ini aktif terhadap M tuberculosis, M. avrium intraselular, M. fortuitum. Ributin efektif untuk terapi pencegahan dan pengobataninfeksi disseminated atypical mycobakteria.

    1. Rifapentin

Rifapentin suatu indikator poten enzim sitokrom P450. ripafentin diindikasikan untuk pengobatan tuberkulosis oleh mikrobakteria yang sensitif terhadap rifampisin.

1.14 Pengobatan Tuberkulosis

Tuberkulosis ( TB ) dapat meyerang beberapa organ tubuh, diantaranya paru-paru, ginjal, tulang dan usus. Tujuan pengobatan Tuberkulosis adalah memusnakan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Selain itu juga bertujuan mengurangi transmisi TB kepada orang lain dan mencegah/memperlambat timbulnya retensi TB terhadap obat. Yang menjadi poin penting Pada pengobatan TB adalah :

  • Pemilihan Obat

  • Resistensi

  • Panduan Terapi

  • Panduan terapi tuberkulosis pada pasien defisiensi imun

  • Efek samping

  • Pengobatan, Pencegahan

  • Terapi kortikosteroid pada tuberkulosis

  • Penilaian hasil pengobatan


  1. LEPROSTATIK

Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak dan memerlukan perhatian yang serius. Dalam bab ini akan di bahas antilepra golongan sulfon, rifampisin, klofazimin, amitiozon dan obat-obat lain.

Sifat farmakologi yang sama. Banyak senyawa yang telah di kembangkan, tetapi secara klinis hanya masalah pengobatan lepra. WHO menganjurkan penggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu dapson, ifampisin dank lofazimin untuk pemberantasan global penyakit lepra.

  1. Sulfon

Golongan sulfon merupakan derivate 4.4’ diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki dapson dan sulfokson yang bermanfaat.

Aktivitas In Vitro Dan In Vivo

Aktivitas sulfon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat di ukur mengingat hasil ini belum dapat di biakkan dalam media buatan. Tehadap basil tuberculosis obat ini bersifat bakteripstatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil pada kadar 10 µɡ/mL. penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa sulfon bersifat bakteriostatik dengan KHM sebesar 0,02 µɡ/mL. resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung.

Mekanisme kerja sulfon sama dengan sulfonamide. Kedua golongan obat ini mempunyai spectrum antibakteri yang sama, dan dapat ldi hambat aktivitasnya oleh PABA secara bersaing.



Farmakokinetik

Dapson di serap lambat di saluran cerna, tetapi hampir sempurna. Sulfokson di serap kurang sempurna sehingga banyak tebuang bersama feses. Kadar puncak tercapai setelah 1-3 jam , yaitu 10-15 µɡ/mL. setelah pemberian dosis yang di anjurkan. Kadar puncak cepat turun, tetapi masih di jumpai dalam jumlah cukup setelah 8 jam. Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang, sejumlah kecil obat masih di temukan sampai 35 hari setelah pemberian obat di hentikan.

Golongan sulfon tersebar luas di seluruh jaringan dan cairan tubuh. Obat ini cenderung tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih banyak dalam hati dan ginjal. Obat tetrikat pada protein plasma sebanyak 50-70%, dan mengalami daur enterohepatik. Daur ini yang menyebabkan obat masih di temukan dala darah lama setelah pemberiannya di hentikan. Sulfon mengalami metabolisme dalam hati dan kecepatan asetilasinya di etntukan oleh factor genetic.

Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya bagi setiap sediaan sulfon. Dapson dosis tunggal di ekskresi sebanyak 70-80% terutama dalam bentuk metabolitnya. Probenesid dapat menghambat ekskresi dapson dan metabolitnya.

Efek Samping

Efek samping sediaan sulfon yang paling sering terlihat ialah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis. Hemolisis dapat tejadi pada hampir setiap pasien yang menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis 100 mg pada orang normal atau dosis kurang dari 50 mg pada orang yang menderita kekurangan enzim G6PD tidak menimbulkan hemolisis. Methemoglobinemia sering pula terlihat, kadang-kadang di sertai pembentukan Heinz body.

Walaupun sulfon menyebabkan hemolisis, anemia hemolisis jarang tetrjadi kecuali bila pasien juga menderita kelainan eritrosit atau sumsum tulang. Tanda hipoksia akan tampak bila hemolisis sudah sedemikian berat.

Anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi pada pemberian sulfon. Gejala lain yang pernah di laporkan ialah sakit kepala, gugup, sukar tidur, penglihatan kabur, parestesia, neuropati perifer yang mampu pulih, demam, hematuria, pruritus, psikosis, dan berbagai bentuk kelainan kulit. Gejala mirip mononucleosis infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula di laporkan.

Sulfon dapat pula menimbulkan reaksi lepromatosis yang analog dengan reaksi jarisch Herxhelmer. Sindrom yang di sebut “sindrom sulfon” ini dapat timbul 5-6 minggu setelah awal terapi pada pasien yang bergizi buruk. Gejalanya dapat berupa demam, malaise, dermatitis eksfoliatif, ikterfus yang di sertai nekrosis hati, limfadenopati, methemoglobnemia, dan anemia.

Sediaan Dan Pasologi

Sulfon dapat di gunakan dengan aman selama beberapa tahun bila pemberian di lakukan dengan seksama. Pengobatan harus di mulai dengan dosis kesil, kemudian di naikkan perlahan-lahan dengan pengawasan klinik dan laboratorium secara teratur. Reaksi lepromatosis berupa sindrom sulfondapat demikian parah dan memerlukan penghentian terapi.

Dapson diberikan dalam bentuk tablet 25 dan 100 mg secara oral. Pengobatan di mulai dengan dosis 25 mg. dalam 2 minggu pertama dosis ini di berika sekali dalam seminggu; kemudian setiap 2 minggu frekuensi pemberian di tambahkan satu kali sampai tercapai pemberian 5 kali seminggu. Setelah itu dosis di naikkan menjadi 50 mg, yang di berikan 3 kali seminggu selama 1 bulan dan akhirnya di naikkan 4 kali seminggu untuk waktu yang tidak terbatas. Pemberian dapson 100 mg dua kali seminggu mungkin cukup efektif untuk pengobatan jangka lama.

Natrium sulfokson di berikan pada pasien yang mengalami gangguan saluran cerna akibat dapson. Natrium sulfokson terdapat dalam bentuk tablet bersalut gula 165 mg. dosis awal ialah 330 mg di berikan 2 kali seminggu selama 2 minggu pertama, kemudian pemberian di naikkan lagi menjadi 6 kali seminggu. Dosis maksimum perhari ialah 600 mg.

  1. Rifampisin

Farmakologi obat ini telah di tinjau sebagai antituberkulosis. Pada hewan coba, antibiotic ini cepat mengadakan sentralisasi kaki mencit yang diinfeksi dengan M.leprae dan tampaknya mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini mampu menembus sel dan saraf, dalam pengobatan yang berlangsung lama masih saja di temukan kuman hidup. Beberapa pasien yang makan obat ini selama 10 tahun tidak timbul masalah, tetapi resistensi timbul dalam waktu 3-4 tahun. Atas dasar inilah penggunaaan rifampisin pada penyakit lepra hanya di anjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini di beberapa Negara sedang di coba pengunaan dirafmpisin bersama dapson untuk M.leprae yang sensitive terhadap dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau etinamid untuk M.leprae yang resisten terhadap dapson. Dosisnya untuk semua jenis lepra adalah 600 mg/hari. Kini juga sedang di teliti paduan yang menggunakan rifampisin dosis 300 mg/hari atau untuk pengunaan intermiten dengan dosis 600 mg sampai 1500 mg.

  1. Amitiozon

Obat turunan tuosemikarbazon ini lebih efektif terhadap lepra jenis tuberkuloid di bandingkan terhadap lepra jenis lepramatosis. Resistensi dapat terjadi selama pengobatan sehingga pada tahun kedua pengobatan perbaikan melambat dan pada tahun katiga penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitiozon di anjurkan penggunaannya bila dapson tidak dapat di terima pasien.

Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia, mula, dan muntah. Anemia karena depresi sumsumvtulang terlihat pada sebagian besar pasien. Leukopenia dan agarnulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat keadaan nya terdapat pada 0,5% pasien. Anemia hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis tinggi. Ruam kulit dan albuminuria tidak jarang pula tetrlihat. Kejadian ikterus cukup tinggi dan gejala ini menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya reversibel.

Amitiozon mudah di serap melalui saluran cerna dan ekskresinya melalui urin. Dosis permulaan ialah 50 mg setiap hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis dapat di naikkan perlahan-lahan sampai mencapai 200 mg. obat ini sama efektif baik pada pemberian dosis tunggal maupun dosis terbagi.

  1. Pengobatan Lepra

Pengobatan lepra juga mengalami perubahan setelah suksesnya pengobatan tuberculosis dengan paduan terapi jangka pendek. Di masa lalu pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal, kini banyak di usahakan pengobatan minimal dengan dua obat, dan rifampisin jega merupakan komponen yang penting. Untuk mengerti pengobatan lepra, perlu di pahami bentuk klinik penyakit tersebut. Di kenal dua macam pembagian penyakit lepra menurut bentuk kliniknya.

Klasifikasi

Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe indeterminate, tuberculoid, borderline, dan lepromatosa, sedangkan Ridley dan Jopling membaginya menjadi 6 tipe yaitu tipe indeterminate (tipe 1), tuberculoid (tipe TT), borderline tuberculoid (tipe BT), borderline atau midborderline (tipe BB), borderline lepromatosa (tipe LL). Lepra tipe indeterminate merupakan bentuk permulaan penyakit lepra yang memperlihatkan bermacam bentuk macula hipopigmentasi. Sekitar 75% leai ini sembuh spontan, yang lain mungkin menetap sebagai tipe indeterminate atau berkembang menjadi bentuk-bentuk tuberculoid, borderline untuk seterusnya menjadi bentuk lepromatosa. Tanda klinik bentuk tuberculoid sampai bentuk lepromatosa dapat di lihat pada tabel 40-8.


Tabel 40-8. KALSIFIKASI PENYAKIT LEPRA MENURUT RIDLEY DAN JOPLING

Tanda-tanda TT BT BB-BL LL

Jumlah lesi kulit biasanya tunggal tunggal/sedikit beberapa banyak sangat banyak

Besar lesi beragam beragam beragam kecil

Permukaan lesi sangat kering/bersisik kering mengkilap mengkilap

Pertumbuhan rambut pada lesi tak ada berkurang agak berkurang tak berpengaruh

Daya rasa pada lesi hilang sama sekali menurun jelas menurun ringan tidak hilang

BTA dari apus jaringan kulit nol nol/jarang beberapa banyak sangat banyak

BTA dari korekan hidung nol nol nol/jarang sangat banyak

tesblepromin +++ +/++ negative negative

keterangan : TT = lepra tipe tberkuloid ; BT = borderline tuberculoid ; BB-BL mid borderline-borderline lepromatous

LL = lepra lepromatous


Untuk kepentingan pengobatan penyakit lepra dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya BTA dalam pemeriksaan bakteriologis yaitu bentuk pausibasiler (tipe PB) dan bentuk multibasiler (HB).

Yang tergolong bentuk BB ialah semua tipe pada pemeriksaan laboratorium tidak di temukan BTA yang termasuk dalam kelompok ini ialah tipe indeterminate dan tipe tuberculoid. Tetapi bila pada tipe ini di temukan BTA positif, maka tipe ini tergolong dalam bentuk multibasiler (MB).

Bentuk multibasiler (MB) secara garis besar ialah semua tipe yang pada pemeriksaan laboratorium BTA-nya positif. Tipe borderline dan lepromatosa termasuk bentuk multibasiler walaupun BTA negative.

Pemilihan Obat

Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk semua tipe penyakit lepra. Obat ini di gunakan baik pada terapi obat tunggal maupun kombinasi. Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi alergi, baru di gunakan obat lain. Klofazimin yang beberapa tahun lalu hanya di gunakan untuk menggantikan DDS, kini di gunakan bersama DDS untuk lepra tipe multibasiler dan rifampisin merupakan komponen penting dalam terapi kombinasi baik pada lepra tpe pausibasiler maupun multibasiler. Selain itu pada reaksi lepra juga di gunakan kortikostiroid untuk efek antiinflamasinya. Juga di gunakan klorokuin untuk efek antiinflamasinya. Talidomid di gunakan untuk reaksi eritema nodosum leprosum, untuk reaksi reversal obat ini tidak bermanfaat.

Regimen Pengobatan

Pengobatan lepra di Indonesia ada dua cara yaitu terapi kombinasi dan terapi obat tunggal. Tetapi obat kombinasi yang di anjurkan di Indonesia sesuai dengan yang di anjurkan oleh WHO.

Paduan obat untuk kelompok pausibasiler adalah DDS 100 mg/hari selama 6-9 bulan dan rifampisin 600 mg sebulan sekali untuk 6 bulan. Penggunaan DDS di serahkan kepada pasien, tetapi untuk menjamin kepatuhan, pemberian rifampisin harus dibawah pengawasan dokter. Paduan obat untuk kelompok smultibasiler adalah DDS 100 mg/hari, rifampisin 600 mg sebulan sekali, klofazimin 50 mg/hari, dan klofazimin 300 mg setiap bulan. Rifampisin dan klofazimin yang diberikan sebulan sekali juga harus diawasi pemberiannya. Lama pengobatan paling sedikit 2 tahun dan paling baik sampai hasil pemeriksaan BTA negative.

Terapi Obat Tunggal

Di daerah-daerah yang belum terjangkau terapi obat kombinasi masih di lakukan terapi obat tunggal. Untuk tipe PB di berikan DDS 100 mg/hari yang lamanya paling sedikit 2-3 tahun, sedang untuk MB lama pengobatan tidak di tentukan. Kini pengobatan dengan obat tunggal tidak di anjurkan lagi. Oleh karena itu bila pasien yang sedang dalam terapi obat tunggal kemudian memperoleh kesempatan untuk mendapatkan obat kombinasi, maka pengobatan di mulai lagi seolah belum pernah mendapat pengobatan.

Reaksi Lepra

Reaksi lepra adalah kejadian atau episode dalam perjalanan penyakit lepra yang merupakan manifestasi reaksi imun (kekebalan) seluler maupun humoral. Reaksi ini dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah pengobatan. Yang sering terjadi ialah dalam pengobatan, biasanya antara 6 bulan – 1 tahun pertama. Ada jug reaksi lepra :

(1) reaksi tipe atau tipe reaksi reversal yang terjadi pada tipe tuberkuloid biasanya dalam 6 bulan pertama masa pengobatan. Gejala yang menonjol ialah neuritis sampai hilangnya sensorimotor, kulit menjadi kemerahan dan berluka, serta edema di muka, tangan, dan kaki. Reaksi tipe ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang berhubungan dengan meningkatnya respon imun seluler.

Pada reaksi yang ringan di berikan klorokuin 3 kali 1 tablet selama 3-5 hari sementara antilepra tetap di teruskan kalau perlu dapat di beri analgesic dan sedative. Pada reaksi yang berat perlu di berikan kortikostiroid.

(2) reaksi tipe ii atau eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya timbul lebih lambat dari pada reaksi tipe I. gejala dan tandanya ialah timbulnya benjol-benjol kecil kemerahan di kulit (di mana saja), sering di sertai neuritis, orchitis, iridosiklitis, arthritis, proteinuria, dan limfadenopati.

Pengobatan reaksi tipe II sama dengan tipe I hanya klorokuin di berikan 1 minggu. Pada reaksi yang berat di berikan kortikosteroid dan dosis klofazimin di naikkan menjadi 3 x 100 mg/hari selama 1 minggu. Bila reaksi berkurang dosis klofazimin di turunkan menjadi 2 kali 100 mg/hari sampai reaksi hilang. Kemudian dosis di kembalikan menjadi 50 mg/hari.

Beberapa pusat pemberantasan penyakit lepra di luar negeri seperti amerika serikat menggunakan talidomid untuk mengobati reaksi lepra tipe II yang berat dengan dosis awal 400 mg, kemudian di lanjutkan dengan dosis rumat 100 mg/hari.

Penilaian Hasil Pengobatan

Kemajuan pengobatan dinilai dengan melihat perbaikan gejala dan tanda klinik maupun laboratorium, serta ketekunan berobat. Setelah memenuhi criteria sembuh, pasien di beri surat pernyataan sembuh oleh petugas kusta setempat.

Pasien kelompok pausibasiler yang telah menjalani pengobatan selama 6-9 bulan dan memenuhi criteria sembuh klinik dan laboratories di nyatakan selesai menjalani pengobatan (released from treatment/RTF). Tetapi mereka masih harus di awasi dan di periksa terus secara klinik dan laboratories sedikitnya setahun sekali selama 2-3 tahun. Bila selama itu tidak terjadi perubahan klinik yang menuju kambuh, maka mereka di nyatakan bebas dari control atau released from control/RFC. Bila selama masa control itu terjadi kambuh, maka pengobatan di mulai lagi dari permulaan.

Pasien kelompok multibasiler yang telah menjalani pengobatan selama 24-36 bulan dengan tekun dan memenuhi krietria sembuh klinik dan laboratories di nyatakan “telah selesai manjalani pengobatan” (released from treatment/RTF). Selanjutnya mereka dalam masuk dalam masa pengawasan sedikitnya selama 5 tahun. Minimal setahun sekali mereka harus di periksa secara klinik dan laboratoris untuk melihat perkembangan penyakitnnya. Bila selama lima tahun itu tidak terjadi perkembangan menuju kambuh, maka mereka di nyatakan bebas dari control (released from control). Tetapi bila dalam masa pengawasan itu terjadi perkembangan menuju kambuh, maka pengobatan di mulai lagi mulai dari permulaan.

  1. TETRASIKLIN


    1. Asal dan Kimia


Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari species Stretomyces lain.

Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCl tetrasiklin bersifat relative stabil. Dalam larutan kebanyakan tetrasiklin sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya.

Struktur kimia golongan tetrasiklin dapat dilihat pada gambar 43-1. Tigesiklin adalah suatu antibiotika dari golongan baru yaitu glisilsiklin.


R1 R2 R3 N(CH3 )2


OH

OH O OH


Gambar Struktur kimia golongan tetrasiklin


Tabel . Struktur kimia golongan tetrasiklin


No


Jenis Tetrasiklin

Gugus


R1


R2


R3


1


Klortetrasiklin


-CH


-CH3 , -OH


-H , -H


2


Oksitetrasiklin


-H


-CH3 , -OH


-OH , -H


3


Tetrasiklin


-H


-CH3 , -OH


-H , -H


4


Demeklosiklin


-Cl


-H , -OH


-H , -H


5


Doksisiklin


-H


-CH3 , -H


-OH , -H


6


Minosiklin


-N(CH3)2


-H , -H


-H , -H



N(CH3 )2 N(CH3 )2




Gambar Struktur kimia tigesiklin





    1. Farmakodinamik

Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri Gram-negatif : pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui system transport aktif. Setelah masuk antibiotic berikatan secara reversible dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan Trna-aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptide yang sedang tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein.


Efek Antimikroba


Golongan tetrasiklin termasuk antibiotic yang terutama bersifat bakteriostasik. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini.


Spektrum Antimikroba


Tetrasiklin memperlihatkan spectrum antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan –negatif, aerobic dan an-aerobik. Selain itu juga ia aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.

Spektrum golongan tetrasiklin umumnya sama sebab mekanisme kerjanya sama, namun terdapat perbedaan kuantitatif dari aktifitas masing-masing derivate terhadap kuman tertentu.

Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin dalam pengobatan infeksi batang Gram-positif seperti B. anthracis, Erysipelothrix rhusiophatiae, Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes.

Kebanyakan strain N. gonorrhoeae sensitive terhadap tetrasiklin, tetapi N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten terhadap tetrasiklin.

Efektifitasnya tinggi terhadap infeksi batang Gram-negativ seperti Brucella, Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseudomonas pseudomallei, Vibrio cholera, Campylobacter fetus, Haemophilus ducreyi dan Calymmatobacterium granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida, Spilillum minor, Leptotrichia bucalis, Bordetella pertussis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain terte3ntu H. influenza mungkin sensitive, tetapi E. Coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus indol positif dan Pseudomonas umumnya resisten.

Tetrasiklin juga merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumonia, Ureaplasma urealyticum, Chlamydia trachomatis, Clamydia psittaci dan berbagai riketsia. Selain itu obat ini juga aktif terhadap Borrelia recurrentis, Treponema pallidum, Treponema pertenue, Actinomyces israelii. Dalam kadar tinggi antibiotic ini menghambat pertumbuhan Entamoeba hystolitica.

Tigestin berspektrum luas dan efektiv untuk menghambat kuman E. Coli, E. Faecallis, S. agalactiae, S. anginosus, S. pyogenes, B. fragilis, E. Cloacae, C. freundii, S. aureus (termasuk galur yang resisten terhadap metisilin – MRSA).

Obat ini diindikasikan untuk infeksi kulit dan infeksi intra-abdominal dengan penyulit yang disebabkan oleh kuman-kuman tersebut di atas.


Resistensi


Beberapa spesies kuman, terutama Streptococcus beta hemolitikus, E. Coli, Pseudomonas aeruginosa, S. Pneumoniae, N. Gonorrhoeae, Bacteroides, Shigella dan S. Aureusmakin meningkat resistensinya terhadap tetrasiklin. Mekanisme resistensi yang terpenting adalah diproduksinya protein pompa yang akan mengeluarkan obat dari dalam sel bakteri. Protein ini di kode dalam plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri yang lain melalui proses transduksi atau konjugasi. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua tetrasiklin lainnya, kecuali minosiklin pada resistensi S. Aureus dan doksisiklin pada resistensi B. Fragilis.

    1. Farmakokinetik

  1. Absorpsi

Kira-kira 30 – 80 % tetrasiklin diserap lewat saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90 %. Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai factor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam lambung (kecuali minosiklin dan doksisiklin), pH tinggi, pembentukan kelat ( kompleks tetrasiklin dengan zat lain yang sukar diserap seperti kation Ca² , Mg² , Fe² , Al³ , yang terdapat dalam susu dan antacid ). Oleh sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan.

Tetrasiklin fosfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorpsinya dari sediaan tetrasiklin biasa.

  1. Distribusi

Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi.

Pemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan kadar sekitar 2.0 – 2.5 µg/Ml.

Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga obat ini boleh diberikan pada gagal ginjal.

Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10 – 20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini di timbun dalam system retikuloendotelial di hati, limpa dan sum-sum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam kadar yang relative tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin ke jaringan lebih baik.

  1. Metabolisme

Obat golongan ini tidak di metabolism secara berarti di hati. Doksisiklin dan minosiklin mengalami metabolism di hati yang cukup berarti sehingga aman diberikan pada pasien gagal ginjal.

  1. Ekskresi

Golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urine berdasarkan filtrasi glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira 20 – 55% golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urine. Golongan tetrasiklin yang di ekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat yang di ekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik : maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.

Antibiotik golongan tetrasiklin yang diberi peroral dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan sifat farmakokinetiknya yaitu :

  • Tetrasiklin, Klortetrasiklin dan Oksitetrasiklin.

Absorpsi kelompok tetrasiklin ini tidak lengkap dengan masa paruh 6 – 12 jam.

  • Demetilklortetrasiklin

Absorpsnya lebih baik dan masa paruhnya kira-kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150 mg per oral tiap 6 jam.

  • Doksisiklin dan Minosiklin

Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya 17 – 20 jam. Tetrasiklin golongan ini cukup diberikan 1 atau 2 kali 100 mg sehari.


    1. Penggunaan Klinik


Karena penggunaan yang berlebih, dewasa ini terjadi resistensi yang mengurangi efektivitas tetrasiklin. Penyakit yang obat pilihannya golongan tetrasiklin adalah :

  1. Riketsiosis

Perbaikan yang dramatis tampak setelah pemberian golongan tetrasiklin. Demam mereda dalam 1 – 3 hari dan ruam kulit menghilang dalam 5 hari. Perbaikan klinis yang nyata telah tampak 24 jam setelah terapi di mulai.

  1. Infeksi Klamidia

  • Limfogranuloma Venereum.

Untuk penyakit ini golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama. Pada infeksi akut diberikan terapi selama 3 – 4 minggu dan untuk keadaan kronis diberikan terapi 1 – 2 bulan. Empat hari setelah terapi diberikan bubo mulai mengecil.

  • Psitakosis

Pemberian golongan tetrasiklin ini selama beberapa hari dapat mengatasi gejala klinis. Dosis yang digunakan adalah 2 gram per hari selama 7 – 10 hari atau 1 gram per hari selama 21 hari.

  • Konjungtivitis inklusi.

Penyakit ini dapat di obati dengan hasil baik selama 2 – 3 minggu dengan memberikan salep mata atau obat tetes mata yang mengandung golongan tetrasiklin.

  • Trakoma

Pemberian salep mata golongan tetrasiklin yang dikombinasikan dengan doksisiklin oral 2 x 100 mg/hari selama 14 hari memberikan hasil pengobatan yang baik.

  • Uretritis Non spesifik

Infeksi yang disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum atau Chlamydia trachomatis ini terobati baik dengan pemberian tetrasiklin oral 4 kali 500 mg sehari selama 7 hari. Infeksi C. Trachomatis sering kali menyertai uretritis akibat gonokokkus.

  1. Infeksi Mycoplasma Pneumoniae

Pneumoniae primer atipik yang disebabkan oleh mikroba ini dapat diatasi dengan pemberian golongan tetrasiklin. Walaupun penyembuhan klinis cepat dicapai Mycoplasma pneumonia mungkin tetap terdapat dalam sputum setelah obat dihentikan.




  1. Infeksi Basil

  • Bruselosis

Pengobatan dengan golongan tetrasiklin memberikan hasil baik sekali untuk penyakit ini. Hasil pengobatan yang memuaskan biasanya di dapat dengan pengobatan selama 3 minggu. Untuk kasus berat seringkali perlu diberikan bersama Streptomisin1 g sehari IM.

  • Tularemia

Obat pilihan utama untuk penyakit ini sebenarnya adalah Streptomisin, tetapi terapi dengan golongan tetrasiklin juga memberikan hasil yang baik.

  • Kolera

Doksisiklin dosis tunggal 300 mg merupakan antibiotik yang efektif untuk penyakit ini. Pemberian dapat mengurangi volume diare dalam 48 jam.

  • Sampar

Antibiotik terbaik untuk mengobati infeksi ini adalah Streptomisin. Bila Streptomisin tidak dapat diberikan, maka dapat dipakai golongan tetrasiklin. Pengobatan di mulai dengan pemberian secara IV selama 2 hari dan dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 1 minggu.


  1. Infeksi Kokus

Golongan tetrasiklin sekarang tidak lagi diindikasikan untuk infeksi stafilokokus maupun streptokokus karena sering dijumpai resistensi. Tigesiklin efektif untuk infeksi kulit dan jaringan lunak oleh stretokokus dan stafilokokus (termasuk MRSA).

  1. Infeksi Venerik

Sifilis

Tetrasiklin merupakan antibiotic pilihan kedua setelah penisilin untuk mengobati sifilis. Dosisnya 4 kali 500 mg sehari per oral selama 15 hari. Tetrasiklin juga efektif untuk mengobati chancroid dan granuloma inguinal. Karena itu dianjurkan memberikan dosis yang sama dengan dosis untuk terapi sifilis.

  1. Akne Vulgaris

Tetrasiklin di duga menghambat produksi asam lemak dari ebum. Dosis yang diberikan untuk ini adalah 2 kali 250 mg sehari selama 2 -3 minggu, bila perlu terapi dapat diteruskan sampai beberapa bulan dengan dosis minimal yang masih efektif.



  1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun

Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif menahun dapat diatasi dengan doksisiklin oral 2 kali 100 mg/hari. Antibiotika lain yang juga bermanfaat adalah kotrimosazol dan koamoksiklav.

  1. Infeksi Intra Abdominal

Tigesiklin efektif untuk pengobatan ibfeksi intra abdominal yang disebabkan oleh Entamoeba Coli, C. Freundil, E. Faecalis, B. Fragilis dan kuman-kuman lain yang peka.

  1. Infeksi Lain

  1. Aktinokmikosis

Golongan tetrasiklin dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini bila penisilin G tidak dapat diberikan kepada pasien.

  1. Frambusia

Respons penderita terhadap pemberian golongan tetrasiklin berbeda-beda. Pada beberapa kasus hasilnya baik, yang lain tidak memuaskan. Antibiotik pilihan utama untuk penyakit ini adalah penisilin.

  1. Leptospirosis

Walaupun tetrasiklin dan penisilin G sering digunakan untuk pengobatan leptospirosis, efektifitasnya tidak terbukti secara mantap.

  1. Infeksi Saluran Cerna

Tetrasiklin mungkin merupakan ajuvan yang bermanfaat pada amuniasis intestinal akut, dan infeksi Plasmodium Falciparum. Selain itu mungkin efektif untuk disentri yang disebabkan oleh Strain Shigella yang peka.

  1. Penggunaan Topikal

Pemakaian topical hanya dibatasi untuk infeksi mata saja. Salep mata golongan tetrasiklin efektif untuk mengobati trakoma dan infeksi lain pada mata oleh kuman. Gram positif dan Gram Negatif yang sensitive. Selain itu juga salep mata ini dapat pula digunakan untuk profilaksis oftalmia neonatorum pada neonatus.


    1. Efek Samping

Efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritatif serta reaksi yang timbul akibat perubahan biologik.



  1. Reaksi Kepekaan

Rekasi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin adalah erupsi mobiliformis, ultikaria dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat adalah edema angioneurotik dan reaksi anafilaksis. Demam dan eosinofilia dapat pula terjadi pada waktu terapi berlangsung. Sensitisasi silang antara berbagai derivate tetrasiklin sering terjadi.

  1. Reaksi Toksik dan Iritatif

Iritasi lambung paling sering terjadi pada pemberian tetrasiklin per oral, terutama dengan oksitetrasiklin dan doksisikli. Makin besar dosis yang diberikan makin sering terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk sementara waktu atau memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau antacid yang mengandung aluminium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat iritasi dan harus dibedakan dengan diare akibat superinfeksi stafilokokus atau Clostridium Difficile yang sangat berbahaya.

Manifestasi reaksi iritatif yang lain adalah terjadinya tromboflebitis pada pemberian IV dan rasa nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan IM tanpa anestetik local.

Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombosittopenia.

Reaksi fototoksik paling jarang timbul dengan tetrasiklin, tetapi paling sering timbul pada pemberian dimetilklortetraskilin. Manifestasinya berupa fotosensitivitas, kadang-kadang disertai demam dan eosinofilia. Pigmentasi kuku dan onikolisis yaitu lepasnya kuku dari dasarnya juga dapat terjadi.

Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari 2 gram sehari) dan paling sering terjadi setelah pemberian parenteral. Sifat hepatotoksisitas oksitetrasiklin dan tetrasiklin lemah dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil atau masa nifas dengan pielonefritis atau gangguan fungsi ginjal lain cenderung menderitakerusakan hati akibat pemberian golongan tetrasiklin. Karena itu tetrasiklin jangan diberikan pada wanita hamil kecuali bila tidak ada terapi pilihan lain. Kecuali doksisiklin, golongan tetrasiklin bersifat kumulatif dalam tubuh, karena itu dikontraindikasikan pada gagal ginjal. Efek samping yang paling sering timbul biasanya berupa azotemia, hiperfosfatemia dan penurunan berat badan.

Golongan tetrasiklin memperlambat koagulasi darah dan memperkuat efek antikoagulan kumarin. Di duga hal ini disebabkan oleh terbentuknya kelat kalsium, tetapi mungkin juga karena obat-obatan ini mempengaruhi sifat fisikokimia lipoprotein plasma.

Tetrasiklin terikat sebagai kompleks pada jaringan tulang yang sedang tumbuh. Pertumbuhan tulang yang sedang tumbuh. Pertumbuhan tulang akan terhambat sementara pada fetus dan anak. Bahaya ini terutama terjadi mulai pertengahan masa hamil sampai dan sering berlanjut sampai umur 7 tahun atau lebih. Timbulnya kelainan ini lebih ditentukan oleh jumlah dari pada lamanya penggunaan tetrasiklin.

Pada gigi susu maupun gigi tetap, tetrasiklin dapat menimbulkan disgenesis, perubahan warna permanen dan kecenderungan terjadinya karies. Perubahan warna bervariasi dari kuning cokelat sampai kelabu tua. Karena itu tetrasiklin termasuk tigesiklin jangan digunakan mulai pertengahan kedua kehamilan, masa menyusui dan anak sampai berumur 8 tahun. Efek ini terjadi lebih sedikit pada oksitetrasiklin dan doksisiklin.

Tetrasiklin yang sudah kadaluwarsa akan mengalami degradasi menjadi bentuk anhidro 4 epitetrasiklin. Pada manusia hal ini mengakibatkan timbulnya sindrom Fanconi dengan gejala poliuria, polidipsia, proteinuria, asidosis, glukosuria, amino-asiduria di sertai mual; dan muntah. Kelianan ini biasanya bersifat reversible dan menghilang kira-kira satu bulan setelah pemberian tetrasiklin kadaluwarsa ini dihentikan.

Semua tetrasiklin dapat menimbulkan imbang nitrogen negative dan meningkatkan kadar ureum darah. Hal ini tidak berarti secara klinis pada pasien dengan faal ginjal normal yang mendapat dosis biasa, tetapi pada keadaan gagal ginjal dapat timbul azotemia.

Pemberian golongan tetrasiklin pada neonates dapat mengakibatkan peninggian tekanan intra cranial dan mengakibatkan fontanel menonjol, sekalipun obat-obat ini diberikan dalam dosis terapi. Pada keadaan ini tidak deitemukan kelainan CSS dan bila terapi dihentikan maka tekannya akan menurun kembali dengan cepat.

Minosiklin sering bersifat vestibulotoksik dan dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan muntah yang bersifat reversibel.

  1. Reaksi Akibat Peubahan Biologik

Seperti antibiotic lain yang berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya superinfeksi oleh kuman resisten dan jamur. Super infeksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, faring, bahkan kadang-kadang menyebabkan infeksi sistemik. Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya super infeksi ini adalah diabetes mellitus, leukemia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama.

Salah satu manifestali super infeksi adalah diare akibat terganggunya keseimbangan flora normal dalam usus. Di kenai 3 jenis diare akibat super infeksi dalam saluran cerna sehubungan dengan pemberian golongan tetrasiklin adalah sebagai berikut :

  1. Enterokolitis Stafilokokus

Dapat timbul setiap saat selama terapi berlangsung. Tinja cair sering mengandung darah serta leukosit polimorfonuklear. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sering menunjukkan adanya stafilokokus koagulase positif dalam jumlah besar pada tinja, yang pada keadaan normal hanya sedikit. Diagnosis harus ditegakkan dengan cepat karena keadaan ini seringkali mengakibatkan kematian. Bila terjadi septicemia maka harus diberikan antibiotic yang efektif secara parenteral.

  1. Kandidiasis Intestinal

Sekali pun menjadi anggapan umum bahwa diare yang timbul karena pemberian golongan tetrasiklin disebabkan oleh super infeksi kdalam saluran cerna, ternyata hasil kultur tinja dari pasien ini tidak menunjukkan adanya kandida dalam jumlah besar. Bila jelas terjadi kandidiasis intestinal maka perlu diberikan nistatin atau amfoterisin B per oral.

  1. Kolitis Pseudomembranosa

Efek samping ini dapat terjadi tetapi tidak sesering pada penggunaan linkomisin. Pada keadaan ini terjadi nekrosis pada saluran cerna. Jumlah stafilokokus dalam tinja tidak bertambah. Diare yang terjadi sangat hebat, di sertai demam dan terdapat jaringan mukosa yang nekrotik dalam tinja.

Untuk memperkecil kemungkinan timbulnya efek samping golongan tetrasiklin maka perlu diperhatikan beberapa hal dalam memberikan terapi dengan antibiotic ini yaitu :

  • Hendaknya tidak diberikan pada wanita hamil

  • Bila tidak ada indikasi yang kuat, jangan diberikan pada anak-anak

  • Hanya doksisiklin yang boleh diberikan kepada pasien gagal ginjal

  • Hindarkan sedapat mungkin pemakaian untuk tujuan profilaksis

  • Sisa obat yang tidak terpakai hendaknya segera dibuang

  • Jangan diberikan pada pasien yang hiper sensitive terhadap obat ini.


    1. Sediaan dan Posologi

Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia bentuk larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bubuk yang harus dilarutkan lebih dahulu ( tetrasiklin HCl, tigesiklin, doksisiklin, minosiklin ). Posologi golongan tetrasiklin dapat dilihat pada tabel 43 – 1 berikut ini :



Tabel 43-1. Sediaan dan Posologi Golongan Tetrasiklin




Derivat


Sediaan


Dosis untuk orang dewasa


Tetrasiklin


Kapsul / tablet 250 dan 500 mg

Bubuk obat suntik IM 100 dan 200 mg/vial

Bubuk obat suntik IV 250 dan 500 mg/vial

Saleb kulit 3 %

Saleb / obat tetes mata 1 %

(tetrasiklin HCl dan tetrasiklin kompleks fosfat untuk oral tersedia dengan ukuran yang sama)


Oral, 4 x 250 – 500 mg/hari

Parenteral, 300 IM mg sehari yang dibagi dalam 2-3 dosis, dosis atau 250 – 5000 mg IV diulang 2 – 4 kali sehari.

Parenteral untuk pemberian IB 15-25 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam 2-3 dosis dan IV 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis


Klortetrasiklin

Kapsul 250 mg

Salep kulit 3 %

Salep mata 1 %

Lihat tetrasiklin

Oksitetrasiklin

Kapsul 250 mg dan 500 mg

Larutan obat suntik IB 250 dan 100 mg/ampul 2 mL dan 500 mg/vial 10 mL

Bubuk obat suntik IV 250 mg

Salep Kulit 3 %

Salep Mata 1 %

Oral, 4 kali 250-500 mg/hari

Parenteral, 100 mg IM, diulangi 2-3 sehari 500-1000 mg/hari IV ( 250 mg bubuk dilarutkan dalam 100 mL larutan garam faal atau dekstrosa 5 %)

Parenteral, 15-25 mg/kgBB/hari, IM dibagi dalam 2 dosis dan 10-20 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis.


Demeklosiklin

Kapsul atau tablet 150 dan 300 mg

Sirup 75 mg/5 mL.

Oral, 4 kali 150 mg atau 2 kali 300 mg / hari


Doksisiklin

Kapsul atau tablet 100 mg, tablet 50 mg

Sirup 10 mg / mL.

Oral, dosis awal 200 mg, selanjutnya 100-200 mg/hari


Minosiklin


Kapsul 100 mg

Oral, dosis awal 200 mg, dilanjutkan 2 kali sehari 100 mg/hari


Tigesiklin


Vial 50 mg atau vial 100 mg

Infus 100 mg IV dalam waktu 30-60 menit. Dosis pemeliharaan 50 mg/12 jam selama 5 – 14 hari.



Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat menurut klasifikasi Child Pugh C Tigesiklin diberikan dosis muat yang sama namun dosis pemeliharaannya dikurangi menjadi 25 mg tiap 12 jam. Pengurangan dosis tidak diperlukan bagi pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pasien berusia lanjut.

Tigesiklin tersedia dalam vial yang mengandung 50 dan 100 mg yang harus di rekonstitusi dengan larutan garam faal atau dekstrosa 5 % untuk mendapat larutan tigesiklin yang berkadar 10 mg/mL. Larutan dalam vial ini segera diencerkan lagi dalam 100 mL pelarut yang sama dalam kantong untuk infus. Larutan infuse ini stabil pada suhu kamar selama 6 jam atau pada suhu 2° - 8°C sel;ama 24 jam.


  1. PENISILIN

a. Sejarah dan Sumber

Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum; dari berbagai macam jenis yang dihasilkan,perbedaannya hanya terletak pada gugusan samping R saja.Benzilpenisilin yang paling aktif.sefalosprin diperternyata paling aktif.Kedua kelompok antibiotika memiliki rumus bangun serupa,keduanya memiliki cincin beta-laktam dengan rumus dasar yang tertera di halaman berikut.cicin ini merupakan syarat mutlak untuk khasiatnya.jika cicin ini di buka misalnya oleh enzim beta-laktamase (penisilinase atau sefalosporinase 0maka zat menjadi inaktif

b. Mekanisme Kerja

Dinding kuman terddiri dari suatu jaringan peptidoglikan yaitu polimer dasri senyawa amino dan gula yang saling terikat dengan yang lain dan dengan demikian memberikan kekuatan yang mekanis pada dinding.Peniosilin dan sefalosprin menghindarkan sintesa lengkap dari polimer ini yang spesifik bagi kuman dan disebut murein.bila sel tumbuh dan plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis.maka dinding sel yang tak sempurna itu akan pecah dan bakteri musnah.Dinding sel manusia dan hewan tidak terdiri dafri murein,maka antibiotika ini tidak toksis untuk manusia.

c. Indikasi Penggunaan

Indikasi masing-masing penisilin dapat berbeda satu dengan yang lain karena adanya perbedaan dalam berbagai sifat.dalam menentuukan berbagai macam jenis penisilin perlu diperhatikan factor-faktor berikut potensi,spectrum antimikroba ketahanannya terhadap asam,adanya penilinase dan sifat farmakokinetik.pedoman umum dalam memilih jenis penisilin adalah sebagai berikut;

1. Untuk mikroba yang sensitive terhadap penisilin khususnya yang gram positif,penisilin G memiliki potensi yang baik.Indikasi penisilin V dan fenitsilin pad umumnay sama dengan penisillin G.

2. Ampisilin dan amoksilin umumnya digunakan untuk infeksi E.coli Da P.Mirabilis,Terhadap kuman gram positif bukan pengahsil penisilinase golonagan obat ini kurang efektif daripada penisiline G Kabernisilin dan penisilin antipseudomonas lainnya umunya hanya digunakan untuk infeksi. P.aeruginosa dan proteus indol positif

3. penisilin tahan asam umumnya efektif bila di berikan oral

4. Penisiine yang tahan terhadap penisilinase hanya di gunakan untuk infeksi oleh stafilokokus dan penisilinase

5. Sifat farmakokinetik perlu diperhatikan untuk dapat mengendalikan kadar masing-masing penisiline dalam darah sehingga efektifitasnya terjamin.untuk menjelaskan hal itu perlu di gunakan contoh-contoh berikut : penisiline g yang larut dalam air (Kristal na-panisiline G )bila diberikan Im akan cepat mengahasilkan kadar obat yang lebih tinggi dalam darah di banding seiaan penisilne repositer.Kadar ampisilin dalam CSS pasien meningitis,H,Influenza turun cukup besar setelah hari ketiga pengobatan karena penurunan pearmebilitas meningen akibat perbaikan yang diperoleh dengan pengobatan.

d. Penggolongan

Penisiline dapat dibagi dalam beberapa jenis menutur aktivitas dan resisitensinya terhadap laktamase sebagai berikut:

a. Zat-zat spectrum sempit benzilpenisilne,penisilin-V,dan fenitisiline.Zat-zat ini terutama aktif terhadap kuman gram positif dan diuraikan oleh penisilinase

b. Zat-zat tahan laktamase metisiline,kloksasiline.Zat ini hanya aktif terhadap stafilokok dan streptokok.Asam klavulanat,sulbaktam dan tazaboktam memblokir lakmase dan dengan demikian menjamin aktifitas penisiline yang diberikan bersamaan;

c. Gram positif dan sejumlah kuman gram negative,keculai antara lain pseudomonas Klebsieela dan B fragilis tidak tahan laktamase maka sering digunakan terkombinasi dengan suatu laktamase bloker

d. Zat-zat antipesudomonas tikarsiline fdan piperasiline.Antibiotika spectrum luas ini meliputi lebih banyak kuman gram negative,termasuk pseudomonas ,Proteus,klbesiella,dan bacteroides fragilis.mtiodak tahan laktamase-blocker.

e. Efek samping

Yang terpenting adalah reaksi alergi karena hipersensitisasi yang jarang sekali dapat menimbulkan shock anfilaktis (dan kematian) .Pada prokail-benzilpenisiline diduga prokain yang memegang peranan pada hipersensitisasi tersebut.pada penisiline broad spectrum agak sering terjadi gangguan lambung usus (diare,mual muntah,dan lain-lain).pada dosis amat tinggi dapat terjadi reaksi nefrotoksis dan neurotoksis.

f. Farmakokinetik

Absorbsi penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2 ).Cairan lambung dengan pH 4 tidak terlalu merusak penisiline.

Bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap IM,maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah,dosis penisilin G oral haruslah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM.Oleh karena itu penisilin G tidak dianjurkan di berikan oral.jumlah ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemebrian oral dipengarhi besarnya dosiss dan ada tidaknya makanan dalam saluran cerna.dengan dosis lebih kecil presentase yang diabsorbsi relative besar.

Absorbsi ampisilin oral tidak lebih baik cdaripada penisilin v atau fenetsiline.danya makanan dalam aluran cerna akan menghambat absorbs obat.Perbedaan absorbs oabat ampisilin dan bentuk trihidrat dan bentuk anhidrat tidak memberikan perbedaan bermakna pada penggunaan klinik.

Absorbsi amoksilin disaluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin.dengan dosis orak yang sama,amoksilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih besar daripada yang dicapai ampisilin,sedang masa paruh eliminasi kedua obat ini hamper sama.penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makan dilambung,sedang amoksilin tidak.

Distribusi penisilin G didistribusi luas didalam tubuh.kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati,empedu ginjal usus,limfe dan semen,tetapi dalam css sukar di capai.Bila meningen dalam keadaan normal,sukar sekali dicapai kadar 0,5 IU/mL dalam css walaupun kadar plasmanya 50 IU/mL.adanya radang meningen lebih memudahkan penetrasi penisilin G ke CSS tetapi tercapai tidaknya kad

Efektif tetapi tidaknya kadar efektif sukar diramalakan.Pemberian intertekal jarang dikerjakan karena resiko yang lebih tingi dan efektifitasnya tidak lebih memuaskan.

Distribusi amoksilin secara garis besar sama dengan ampisilin.Kebernisilan pad aumumnya memperlihatkan sifat distribusi yang sama dengan penisilin lainnya termasuk distribusi ke dalam empedu dan dapat mencapai CSS pada meningitis.

Bio transformasi dan eksresi.Biotransformasi penisilin umunya dilakukanoleh mikroba berdasarkan pengaruh enzim penisilinase dan amidase.Proses biotransformasi oleh hospes toidak bermakna.akibat pengaruh penisilinase terjadi pemecahan cincin berlaktan dengan kehilangan seluruk aktivitas antimikroba.amidase memecah rantai samping,dengan ekibat penurunan potensi antimikroba.

Penisilin umumnya disekresi melalui peoses sekresi di tubli ginjal yang dapat dihambat oeh proben esid.masa paruh eliminasi penisilin dalam darah diperpanjang oleh probenesid,bebrapa obat juga lain juga meningkatkan masa paruh eliminasi penisilin dalam darah antara lain fenibutazon,sulfinpirazon,asetosal,dan indometasin.Kegagalan fungsi ginjal sangat memperlambat eksresi penisilin.

g. Sediaan dan Pasologi

  • Penisilin biasanya digunakn secara parental.sediaan terdapat daalam bentuk penisilin G larut iar dan lepas lambat untuk suntikan IM.

  • Penislin V (fenoksimitel penislin ) ;tersedia sebagai garam kalium,dalam bentuk tablet 250 mg dan 625 mg sirup 125 mg/5 mL.

  • Penisilin isoksazoil terdapat berbagai sediaan oral ( garam natrium dalam bentuk tablet),kapsul 125 mg/250 mg,500 mg suspense 62,5 mg.Untuk pemberian parentedral adalah garam natrium dalam vial 250 mg ,500mg,dan 1 gram.

  • Ampisilin untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk tabelet atau kapsul sebagai ampisilin trihidrat atau ampisilin anhidrat 125mg,500 mg/5 mL.Selain itu ampisilin tersedia untuk jenis suntikan.dosis ampisilin tergantung dari beratnya penyakit ,fungsi ginjal,dan umur pasien.garis besar penentuan dosis ialah sbb dewasa penyakit ringan sampai sedang di berikan 2-4 g sehari,dibagi un tuk 4 kali pemberian untuk penyakit berat sebaiknay diberikan preparat parental sebanyak,4-8 g sehari.Pada meningitis bahkan dibutuhkan dosis lebih tinggi lagi.Untuk anak berat badan dengan berta kurang dari 20 kg diberikan peroral.

  • Amoksisilin diberikan sebagai kapsul atau tablet 125,250,500,mg sirup 125 mg/5 mL.Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil dariipada ampiusilin karena absorbsinya lebih baik daripada ampisilin.

  • Karbenisilin tersedia untuk suntikan sebagai garam natrium sebagai vial 1,2,5 dan 10 gram.Pada infeksi berat dosis fdewasa berkisar 25-30 g sehari.

  • Sulbenisilin untuk suntikan tersedia dala vial 1 g.dosis yang dianjurkan ialah dewasa 2-4 g sehari.

  • Tikarsilin suatu karbonpeniksilin yang tidak di absorbs melalui saluran cerna,sehingga harus diberikan secara parenteral (IV dan IM ).Spektrum aktivitas antibakterinya terhadap bakteri gram negative lebih luas darik aminopenisilin.

  • Aziosilin,meziosilin,piperasilin.Obat-obat ini tergolong uroidopenisilin ;yang diindikasikan untuk infeksi berat /oleh kuman gram negative,termasuk diantaranya P.aeruginosa ,proteus indol positif dan enterobacter.ketganya lebih paten daripada karbonisilin terhadap kuman.





h. Jenis- Jenis Penisilin


Ampicillin 125 mg/5ml

Ampisilina digunakan untuk pengobatan :
Infeksi saluran pernafasan,seperti pneumonia faringitis, bronkitis, laringitis.
Infeksi saluran pencernaan, seperti shigellosis, salmonellosis.
Infeksi saluran kemih dan kelamin, seperti gonore (tanpa komplikasi), uretritis, sistitis, pielonefritis.
Infeksi kulit dan jaringan kulit.
Septikemia, meningitis.

Ampicillin 500 mg

Infeksi saluran kemih, saluran pencernaan, bakterial otitis media.

PT Bayer Indonesia


Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti:
- Infeksi saluran pernafasan : tonsillitis, faringitis, pneumonia, otitis media.
- Infeksi kulit dan jaringan lunak.
- Infeksi saluran kemih dan kelamin.
- Infeksi lain: osteomielitis dan septisemia.

Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan antara lain:

  • Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis.

  • Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain ?-laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes.

  • Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.

  • Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (strain beta-laktamase positif dan negatif).

PT Dexa Medica


Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan antara lain:

  1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis.

  2. Otitis media yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain ?-laktamase positif dan negatif), Moraxella (Branhamella) catarrhalis (sebagian besar adalah ?-laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes.

  3. Faringitis dan tonsillitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.

  4. Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (strain ?-laktamase positif


  • Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang susceptible antara lain:
    Infeksi umum:
    septicaemia; bacteriaemia; peritonitis; meningitis; penderita ICU dengan problem spesifik, misalnya luka bakar yang terinfeksi.

    Infeksi saluran pernapasan bagian bawah :
    pneumonia, bronkopneumonia; pleuritis pada paru-paru; emfisema; bronciectasis yang terinfeksi; abcess pada paru-paru; infeksi paru-paru pada penderita cystic fibrosis.

    Infeksi saluran kemih :
    pyelonephritis akut dan kronis; pyelitis; prostatitis; berbagai abscess renal

    Infeksi jaringan lunak dan kulit :
    celullitis; erysipelas; abscess; mastitis; luka bakar atau luka lain yang terinfeksi; ulkus pada kulit

    Infeksi tulang dan sendi :
    osteotitis, osteomyelitis; artritis septik; bursitis yang terinfeksi
    infeksi abdominal dan bilier
    cholangitis, cholecystitis; peritonitis; diverkulitis; penyakit radang pelvic

    Dialysis
    Infeksi-infeksi yang dikaitkan dengan dialisis haemo dan peritoneal dan CAPD (continous ambulatory peritoneal dialysis).


Untuk pengobatan infeksi kulit primer maupun sekunder seperti impetigo kontagiosa, ektima, furunkulosis. pioderma, psoriasis dan macam-macam dermatitis lainnya.

PT Indofarma


Untuk pengobatan infeksi jamur (ring-worm) pada kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton.

PT Indofarma

Berikut informasi-informasi kesehatan terkait dengan Penisilin:

Mengenal Simbol Kemasan Obat

Huruf K di dalamnya br Obat yang termasuk dalam golongan ini misalnya antibiotik seperti tetrasiklin Penisilin obat-obatan yang mengandung hormon obat penenang dan lain-lain Obat jenis ini tidak bisa sembarang ...

Alergi dan Penyebabnya

Alergi Serbuk tanaman jenis rumput tertentu jenis pohon yang berkulit halus dan tipis serbuk spora Penisilin seafood telur kacang panjang kacang tanah kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya susu jagung dan ...

  1. SEFALOSPORIN

  1. Kimia dan Klasifikasi

Sefalosporin berasal dari fungsi Cephalosporium acremonium yang diidolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Inti dasar sefalosporin C ialah asam 7-amino sefalosporanat ( 7-ACA : 7-aminocephalosporanicacid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resistwen terhadap penisilinase, tetapi di rusak oleh se falosporinase.

Hindrolisis asam sefalosporin C menghasailkan 7-ACA yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotic sefalosporin. Sefalosporin dibagi menjadi 4 genrasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya. Dewasa ini sefalosporin yang lazim digunakan dalam pengobatan telah mencapai generasi keempat.

  1. Aktivitas Antimikroba

Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram positif maupun Gram negative, tetapi spectrum sntimikroba masing-masing derivate bervariasi.

  1. Sefalosporin Generasi Pertama (SG 1)

Sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spectrum antimikroba yang terutama katif terhadap kuman gram positif. Keunggulannya dari penisilin ialah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S. viridians dan S. pneumonie. Bakteri gram positif yang juga sensitive ialah S. anaerob, Closstrudum perfinges, Listeria monocytogenes dan Corynebactrium diphteriae.

Aktivitas antimikroba berbagai jenis safolosporin generasi pertama sama satu dengan yang lain, hanya sefalosporin sedikit lebih aktif terhadap S. aureus.

Mikroba yang resisten atnra lain ialah strain S. aureus resisten metilisin, S. epidermidis dan S. faecalis.

  1. Sefalosporin Generasi Kedua (SG 11)

Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetepi lebih aktif terhadap kuman gram negative : misalnya H.influenzae, P.mirabilis, E. coli dan Klebsiella. Terhadap P.aeruginaso dan entrokokus golongan ini tidak efektif. Untuk infeksi saluran empedu golongan ini tidak di anjurkan karena dikhawatirkan entrokokus termasuk salah satu penyebab infeksi. Sefaksitin aktif terhadap kuman anaerob.

  1. Sefalosporin Generasi Ketiga (SG III)

Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus gram positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P.aeruginosa.

  1. Sefalosporin Generasi Keempat (SG IV)

Antibiotika golongan ini ( misalnya sefepim,sefpirom) mempunyai spectrum aktivitas lebih luas dari generasi ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh betalaktamase. Antibiotic tersebut dapat berguna untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi ketiga.

  1. Sifat Umum

Dari sifat farmakokinetik sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil, sefiksim, sefpodosim proksetil, seftibuten dan sefuroksin aksetil yang dapat diberikan per oral karena reabsorbsi melalui saluran cerna. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara IV karena menyebabkan iritasi local dan nyeri pada pemberian IM.

  1. Efek Samping

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan dengan aminoglikosida dan polimiksin. Nekrosis ginjal dapar tejadi pada pemberian sefaloridin 4 g/hari.

  1. Indikasi Klinik

Sefalosporin generasio I sangat baik untuk mengatasi infeksi kulit dan jaringan lunak oleh S. aureus dan S. pyogenes. Obat ini juga sangat efektif untuk mengatasi infeksi oleh K. pneumonia. Sefalosporin generasi II umunya sudah digeser oleh SG III untuk mengatasi berbagai infeksi.

Sefalospori generasi III tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Povedencia, Serratia dan Haemophilus spesies. Sefalospirin generasi IV diindikasikan untuk terapi emperik infeksi nosokomial yang diantisipasi disebabkan oleh bakteri yang memproduksi betalaktamase denganspektrum diperluas.

  1. Monografi

  • SEFALOSPORIN GENERASI PERTAMA

  1. SEFALOTIN

  2. SEFAZOLIN

  3. SERADIN

  4. SEFADROKSIL

  • SEFALOSPORIN GENERASI KEDUA

  1. SEFAMANDOL

  2. SEFOKSITIN

  3. SEFAKLOR

  4. SEFUROKSIN

  • SEFALOSPORIN GENERASI KETIGA

  1. SEFOTAKSIM

  2. MOKSALAKTAM

  3. SETRIAKSON

  4. SEFOPERAZON

  5. SEFTAZIDIM

  6. SEFIKSIM.



ANTIBIOTIKA BELATAKAM LAINNYA

Dewasa ini telah dikembangkan antibiotika belatakam lain yang tidak tergolong penisilin maupun sefalosporin.

KARBAPENEM

Karbapenem merupakan belatakam yang struktur kimianya berbeda dengan penisilin dan sefalosporin. Golongan obat ini mempunyai spektrum aktivitas yang lebih luas.

IMIPENEM

Obat ini di pasarkan dalam kombinasi dengan silastatin agar imipenem tidak didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubulu ginjal.

Imipenem, suatu turunan tienamisin, merupakan karbapenem pertama yang digunakan dalam pengobatan. Tienamisin diproduksi oleh Strepto myces cattleya. Imipanem mengandung cincin belatakan dan cincin lima segi tanpa atom sulfur. Oleh enzim dehidropeptidase yang terdapat pada brush border tubuli ginjal. Obat ini dimetabolisme menjadi metabolit yang nefrotoksik. Hanya sedikit yang terdeteksi dalam bentuk asal di urin.

Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas anti bakteri. Bila diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal.

MEKANISME KERJA DAN SPEKTRUM ANTIBAKTERI

Imipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis dinding sel kuman. In vitro obat ini berspektrum sangat luas, termasuk kuman garm positif dan gram negatif, baik yang aerobik maupun anaerobik; imepenem beraktivitas bakterisid. Betalaktamase baik yang diperantai plasmid maupun kromosom. Imipenem in vitro sangat aktif terhadap kokus gram positif, termasuk stafilikok, streptokok, pneumokokdan E. faecalis serta kuman penghasil betalakamase umumnya. Tetapi obat ini tidak aktif terhadap stafilokok resisten metisilin atau galur yang uji koagulasinya negatif. Imipenem aktif terhadap sebagian besar Enterobacteriaceae. Potensinya sebanding dengan aztreonam dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu spektrumnya meluas mencakup kuman yang resisyen penisilin, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Imipenem juga sangat aktif terhadap meningokok, gonokokus dan H. influenza termasuk yang memproduksi betalaktamase. Terhadap Acinetobakter dan P. Aeruginosa aktivitasnya sebanding dengan seftazdimin. Terhadap kuman anaerob aktivitasnya sebandimg dengan klindamisin dan metronidazole, tetapi terhadap Clostridium difficile tidak aktif. Terhadap sebagian besar kuman yang sensitif terhadapnya , imipenem memperlihatkan efek pasca antibiotik.

Indikasi

Imipenem/ silastatin digunakan untuk pengobatan infeksi berat oleh kuman yang sensitif, termasuk infeksi nosokomial yang resisten terhadap antibiotik lain, misalnya infeksi saluran napas bawah, intra abdominal, obsteri-ginekologi, osteomielitis dan endokarditis oleh S. aureus. Untuk infeksi berat oleh P. aeruginosa dianjurkan agar dikombinasikan dengan aminoglikosida, karena berefek sinergistik.

Efek samping

Efek samping yang paling sering dari imipenem adalah mual, muntah, kemerahan kulit dan reaksi lokal pada tempat infus. Kejang dilaporkan terjadi pada 0,9% dari 1.754 pasien yang mendapat obat tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut obat ini dikontrainidikasi pada pasien yang berisiko tinggi untuk menderita kejang. Bila diberikan bersama siklosporin sebaiknya hati-hati, karena keduanya dapat mengganggu susunan s saraf pusat.

Farmakokinetik

Imipenem maupun silastatin tidak diabsorbsi melalui saluran cerna, sehingga haris diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing-masing 1g imipenem/silastatin secara infus 30 menit, kadar puncak rata-rata dapat mencapai 52 dan 65μg/ml. enam jam kemudian kadar menurun sampi 1μg/ml. kadar puncak imipenem dalam plasma (10 dan 12/ml) dicapai dalam 2 jam. Kadar puncak silastatin 24 dan 33 μg/ml yang dicapai 1 jam sesudah pemberian. Kira-kira 20 % imipenem dan 40% silastatin terkait protein plasma. Distribusi obat ini merata keberbagai jaringan dan cairan tubuh. Pada meningitis pemberian 1g obat ini tiap 6 jam, akan mencapai kadar garam cairan otak setinggi 0,5 dan 11μg/ml. kadar imipenem dalam empedu umumnya rendah. Obat ini diekskresi melalui filtrasi glomelurus dan sekresi tubuli ginjal.

Bila diberikan bersama silastatin, kurang lebih 70% dari dosis imipenem diekskresi diurin dalam bentuk asal 10 jam sesudah pemberian, sisanya dimetabolisme, metabolit utama sebanyak kurang lebih 12% dari dosis terdapat diurin sebagai N-asetil silastatin. Ekskresi imipenem maupun silastatin melalui tinja hanya sekitar 1 %.


Waktu paruh imipenem dan silastatin kurang lebih 1 jam pada orang deawasa. Pada kelaianan fungsi ginjal waktu paruh imipenem dapat mencapai 3,5 sampai 4 jam dan silastatin sampai 16 jam sehingga perlu penyesuaian dosis.pada hemodialisis waktu paruh imipenem 2,5 jam dan silastatin 3,8 jam sehingga sesudah dialisis perlu dosis suplemen.

MEROPENEM

Meropenem suatu derivat dimetilkarbamoil pirolidinil dari tienamisin.berbeda dengan imipinem,obat ini tidak di rusak oleh enzim dipeptidase di tibuli ginjal,sehingga tidak perlu di kombinasikan dengan silastatin.secara umum efek toksiknya sama dengan imipinem,hanya obat ini di laporkan kurang menyebabkan kejang.spektrum aktivitas in vitro dan efek kliniknya sebanding dengan imipinem.

MONOBAKTAM

Monobaktan merupakan suatu senyawa betalaktam monosiklik,dengan inti dasar berupa cincin tunggal,asam-3 aminobaktamat’

Struktur ini berbeda dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam terdahulu misalnya penisilin,sefalosporin,karbapenem,berinti dasar cincin ganda.

Monobaktan pada awalnya diisolasi dari kuman a.I Gluconocabacter,Acetobacter,chromobacterium, tetapi aktivitas antibakterinya sangat lemah kemudian di kembangkan monobaktam sintelik,yaitu Aztreonam,dengan menambahkan suatu oksin-aminoteazol sebagai rantai samping di tambah gugus karboksil pada posisi 3 dan satu gugus alfa-metil pada posisi 4.perubahan struktur tersebut sangat meningkatkan stabilitas aztreonam terhadap berbagai batalaktamase dan aktivitas antibakterinya terhadap kuman Gram-negatif aerobik,termasuk Pseudomonas aeruginosa

AZTREONAM

Aztreonam merupakan derivat monobaktam pertama yang terbukti bermanfaat secara klinis.

Mekanisme kerja

Aztreonam bekeraja dengan menghambat sintesis dinding sel kuman,seperti antibiotika betelaktam lain.antibiotik ini dengan mudah menembus dinding dan membran sel kuman Gram-negatif earobik,dan kemudian mengikuti erat penicilin-binding-profein 3(=PBP 3).pengaruh interaksi tersebut pada kuman ialah terjadi perubahan bentuk filamen,pembelahan sel terhambat dan mati.Kadar bunuh minimal aztreonam terhadap kuman yang peka tidak banyak berbeda dengan KHMnya.Aztreonam tidak aktif terhadap kuman Gram-positif dan kuman anaerob.

Aztreonam hanya aktif terhadap kuman Gram-negatif aerob termasuk Haemophilis influinzae dan meningokok yang menghasilkan betalaktamatase.terhadap Enterobacteriaceae,termasuk yang resisten terhadap penisilin,sefalosporin generasi satu dan aminoglikosida,potensinya sebanding dengan sefalosporin generasi ketiga.Terhadap berbagai strain Pseudomonas aeruginosa,aztreonam sangat aktif,tetapi seftazidim sedikit labih poten.obat ini tidak aktif terhadap spesis Acinetobacter,Xantomonas malthophilia,Achromobacter xyloxidans,spesis Alcaligenes dan legionella pneumophilia.Aztreonam tahan terhadap betalakmatase umumnya,kecuali betalaktamatase tertentu seperti yang di hasilkan Klebsiella oxytoca suatu uamn yang jarang di temukan.

Kadar puncak dalam serum darah pada pemberian 1g IM dalam waktu 60 nmenit mencapai 46μg/mL dan pada pemberian bolus IV 125μg/mL pemberian 1g aztreonam secara infus selama 30 menit,mencapai kadar puncak dalam darah 90 sampai 164μg/mL.sekitar 56% aztreonam dalam darah terikat pada protein plasma.obat ini didistribusi luas ke dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh yaitu sinovial,pleural,perikardial,peritoneal,cairan lepuh,sekresi bronkus,tulang,empedu hati,paru-paru,ginjal,otot,endometrium dan usus.kadar dalam urin tinggi selain itu kadar dalam prostat yang tidak meradang dapat mencapai sekitar 8μg/mL pemberian IM.kadar tersebut jauh lebih tinggi dari KHM enterobacteriaceae pada umunya.


  1. KLORAMFENIKOL

  1. Asal Dan Kimia

Kloramfenikol meruopakan Kristal putih yang sukar larut dalam air (1; 4000) dan rasanya sangat pahit.

  1. Farmakodinamik

Efek Antimikroba

Kloramfenikolbekerja dengn menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50 s dan menghjambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Efek toksik kloramfenikol pada system hemopoetik sel mamalia di duga berhubungan dengan mekanisme kerja obat. Spektrum antibakterinya yaitu meliputi d. pneumonia, s. pyogenes, Bacillus spp, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob dll.

Resistensi

Meknisme resistensi terhadap klorofenikol terjadi mellui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang di perantarai oleh factor-R. resistensi terhadap P. proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan permeabilitas membrane yang mengurangi masuknya obat ke dalam sel bakteri.

Beberapa strain D. pneumonia, h.influenza, dan N. meningitides bersifat resisten; S. aureus umumnya sensitive dan enterobacteria banyak yang telah resisten.

  1. Farmakokinetik

Setelah pemberian oral, kloramifenikol di serap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercaoai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya di berikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang masanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.

Untuk pemberian secara parental di gunakan klorofenikol suksinat yang akan di hidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminsinya pada oran dewasa kuran lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam drah terikat dengan albumin. Obat ini di distribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh. Termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.

Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan saam glukuronat oleh enzim glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfenikol memanjang pad pasien gangguan faal hati. Sebagian kecil kloramfenikol mengalami reduksi menjadi senyawa aril-amn yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-905 kloramfenikol yang diberikan aral telah di ekskrsi melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang di ekskresi melalui urin hanya 5-10a5 dalam bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk aktif.sisanya terdapat dalam bentuk glukuronat atau hidroliswat lain yang tudak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol di ekskresi terutama melalui fitrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus.

Pada gagal ginjal masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingg tidak di perlkan penguranga dosis. Dosis dapat dikrangi bila ditemukan gangguan fungsi pada hepar.

Interaksi

Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenition, dikumarol, dan obat lain yang di metabolisme opleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas pada obat-obat ini lebih tinggi bila di berikan bersama kloramfenikol. Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh dari kloramfenikol sehingga kadar obat ini dalam darah menjadi subterapeutik.

  1. Penggunaan Klinik

Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya di gunakan untuk mengobati demam tifopid dan meningitis oleh H. influenza. Kloramfenikol di kontraindikasikn untuk neonates, pasien dengan gangguan faal hati dan yang hi[persensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonates, dosisnya jangn melebihi 25 mg/kgBB sehari.

Demam Tifoid

Kloramfenikoltidak lagi menjadi pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena telah tersedia obat-obat yang lebih aman seperti siprofloksasin dan seftriakson. Walaupun demikian pemakaianny sebagai lini pertama masih dapat dibenarkan bila resistensi belum meerupakan masalah.

Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam. Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk anak diberikan dosis 50-100 mg/kgBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari.

Suatu uji klinik di Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol ( 4x500 mg/hari) dan siprofloksasin (2 x 500 mg/hari) per oral untuk demam tifoid selama 7 hari tidak berbeda bermakna dalam penyembuan klinik maupun turunnya demam. Sekalpun demikian siprofloksasin lebih efektif untuk membersihkan sumsum tulang dari salmonella.



Meningitis Purulenta

Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh H. influenza. Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan bila obat-obat yang lebih aman seperti seftriakson tidak tersedia. Dianjurkan pemberian klloramfenikol bersama suntikan ampisilin sampai didapat pemeriksaan hasil kultur dan uji kepekaan, setelah itu dianjurkan dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.

Riketsiosis

Terasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Bila oleh karena sesuatu hal tetrasiklin tidak dapat diberikan, maka dapat digunakan kloramfenikol.

  1. Efek Samping

Reaksi Hematologik

Terdapat dalam 2 bentuk yaitu yang pertama reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Kelainan ini berhubunngan dengan dosis, progresif dan pullih bila pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang terlihat ialah anemia, retikulositopenia, peningkatan serum iron dan iron binding capacity serta vakuoalisasi seri eritrosit bentuk muda. Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfeniikol dalam serum melampaui 25 mikrogram/mL. Bentuk yang kedua ialah anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Insidens berkisar antara 1:24.000-50.000. efek samping ini diduga merupakan reaksi idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh adanya kelainan genetic.

Hitung sel darah yang dilakukan secara periodic dapat memberi petunjuk untuk mengurangi dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk melakukan hitung leukosit dan hitung jenis tiap 2 hari. Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindarkan. Timbulnya nyeri tenggorok atau infeksi baru selama pemberian kloramfenikol mungkin merupakan petunjuk terjadinya leukopeni.

Reaksi Saluran Cerna

Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.


Sindrom Gray

Pada neonates, terutama bayi premature yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB) 2 sampai hari ke 9masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tidak teratur, perut kembung, sianosis dan diare dengan ttinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. Pada ahri berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjdi pula hepotermia. Efek toksik diduga di sebabkan oleh, sistem konjugasi oleh enzim glukuronil transfertase belum sempurna; dan kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping ini maka dosis kloramfenikol untuk bayi berumur kuran dari 1 bulan tidak booleh nelebihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur ini dosis 50 mg/kgBB biasanya tidak menimbulkan efek samping tersebut di atas.

  1. Interaksi Obat

Kloramfenikol adalah penghambat yang poten dari sitokrom P450 isoform CYP2C19 dan CYP3A4 pada manusia, sehingga dapat memperpanjang masa paruh eliminasi fenitoin, tulbutamid, klorporpamid, dan warfarin.

  1. Tiamfenikol

Tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan klooramfenikol. Selain itu juga telah diberikan untuk infeksi saluran empedu.

Obat ini diserap dengan baik pada pemberian per oral dan penetrasinya baik ke cairan serebrospinal, tlang dan sputum sehingga mencapai kadar bakterisid untuk H. influenza di sputum. Berbeda dengan obat klloramfenikol, obat ini sebagian besar di ekskresi utuh dalam urin. Oleh karena itu dosis harus dikurangi pada pasien payah ginjal.

Efek samping yang timbul ialah depresi sumsum tulang yang reversible dan berhubungan dengan besarnya dosis yang dibrkan. Dari pengalaman klinik yang terbatas kelihatannya obat ini jarang menimbulkan aplasia sumsum tulang. Efek samping yang sering dijumpai ialah deprei eritropoesis. Efek hematologic lainnya ialah leucopenia, trombositopenia dan peningkatan kadar serum iron.



  1. AMINOGLUKOSIDA

Aminolukosimida adalahgolongan antibiotika bakterisidal yang dikenal toksid terhadap saraf otak VIII komponen maupun akustik dan terhadap ginjal.Antibiotika ini merupakan produk berbagai spesies streptonyces atau fungus lainnya.sejak tahun 1943 sampai sekarang berbagai derivat aminoglikosida telah dikembangkan misalnya streptomisin,neomisin kanamisin,paramomisin,gentamisin,tobramisin,amitasin,sisomisin dan netil misin.senyawa aminoglikosida dibadakan dari gugus gula amino yang terikat pada siklitol gentamisin merupakan prototip golongan aminoglukosida.

Kimia

Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari dua atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik.pada inti heksosa.heksosa tersebut atau aminosiklitol,ialah streptidin atau 2-deoksistreptaminberbentuk senyawa polikation yang bersifat basa kuat dan sangat polar,baik dalam bentuk basa maupun garam,bersifat mudah larut dalam air..sediaan suntikan,berupa garam sulfat sebabpaliing kurang nyeri untuk suntikan IM .

Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamaar teruttama dalam bentuk kering misalnya strotomisin stabil untuk paling sedikit 1 tahun.pengaruh pH terhadap aminoglikosida dibahsa dalam pembahasan aktivitas dan mekanisme kerja.

Efek Anti Mikroba

1). aktivitas dan mekanisme kerja

Aktivitas atibakeri, gentamisin,amikasin,trobmisin,kanamisn,netilmisin terutama tertuju pada basil gram negatif yang aerobik.aktivitas terhadap mikroganisme anaerobikgen rendah sekali.Ini dapat dijelaskan berdasarkan knyataan bahwa utuk traspor aminoglikosidik membutuhkan oksigen.aktivitas terhadap bakteri gram positif sangat terbatas.

Basil gram berbeda susepbilitasnya terhadap berbagai aminoglikosdik.miktoorganisme dinyatakan bil asensiv pertumbuhannya dihambat.

Aktivitas aminoglikosidik terutama dipengaruhi oleh faktor terutama perubahan pH keadaan aerobik,nonaerobik atau keadaan hiperkapnik.

Mekanisme kerja Aminoglikosidik berdifusi lewat kanal air yang dibentuk porin protein pada membran luar dalam bakteri gram negatif masuk ke ruan periplasmik.Sedangkan trranspor mlalui membran dalam sitoplasma membutuhkan energi.hal ini menerangkan penurunan aktivitas aminoglikosidik pada pada lingkungan anaerobiksuatu abses atau urin yang bersifat hiperosmolar.Terikatnya aminoglikosidik mempercepat transpor aminoglikosidik ke dalam sel,diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma, dan disusul kerusakan sel.sdiperkirakan amino

Aminoglikosidik Bersifat bakterisidal .pengaruh aminoglikosidik mengahambat sintesis protein yang menyebabkan salah baca dalam penerjemahn mRNA,tidak menjelaskan efek letalnya yang cepat .berdasarkan kenyataan tersebut aminoglikossidik menimbulkan berbagai efek.

2). Spektrum antimikroba

Kadar pula rata-rata dala serum yang dicapai dengan pemberian dosis lazim merupakan pegangan dalam menetapkan mikroba tertentu terhadap antimikroba untuk penerapan diklinik.kepekaan terhadap suatu jalur mikroba terhadap aminoglikosid mudah berubah biasanya menurun setelah terjadi kontak aminoglikosidik.kejdian ini jelas akan menyebabkan perubahan dalam spektrum antimikroba akibat berkembangnya resistensi .

Spekrum aminoglikosid pada umumnya lebih luas daripada streptomasin.beberapa perbedaan kecil dapat menimbulkan implikasi klinik antar lain dalam hal spektrum antimikroba.

3). Resistensi

Masalah resistensi merupakan kesulitan utama dalam penggunaan streptomisin secara kronik misalnya pada terapi tuberkolosis atau endokardiak bakterial subakut.sifat resiistensi terhadap streptomisin mudah diperlihatkan dengan melakukan bebrapa tahap pembiakan ulan sutu mikroba dalam media yang mengandung streptomisin.resistensi terhadap streptomisin dapat terjadi sedangakan reistensi tehadap aminoglikosidk lainnya terjadi lebih berangsur-angsur.

Mekanisme resistensi bakteri terhadap aminoglikosid perlu diketahui untuk dimengerti spektrum antimikroba lainnya .bakteri dapat resisten terhadap aminoglikosid karena kegagalan penetrasi kedala kuman,renahnya afinistas obat pada ribosom atau inaktivasi obat oleh enzim kuman.hal tersebut merupakan mekanisme terpenting menjelaskan resistensi didapat melalui aminoglikosid dalam klinik.


4).Farmakokinetik

Aminoglikosidik dalam bentuk garam sulfat yang diberikan IM baik sekali absorbsinya.kadar puncakanya dapat tercapai dalam waktu rata-rata ½ sampai 2 jam.Streptomisin didalam darah hampir seluruhnya terdapat didalam plasma dan hanya sekali yang masuk kedalam eritrosit atau makrofag.sifat polarnya merupakan aminoglikosid yang sukar masuk sel.sdifusi ke cairan pleura dan sinovium lambat tetapi mencapai keseimbbangan dengan kadar plasma setelah setelah pemberian berulang.distribusi aminoglikosidik ke dalam cairan otak pada menigen normal sangat terbatas.berdasarkan hal tersebut aminoslikosid dianggap tidak berguna untuk mengatasi meningitis.Eksresi aminoglikosid berlangsung melalui ginjal terutama dengan filtrasi gromelurus.penggunanaan tobramisin bersama dengan probenesid pada pria usia lanjut tidak mempengaruhi bersihan ginjjal total untuk tobramisin.keadaan ini sama dengan streptomisin dan menunjukan bahwa eksresi berlangsung hanya dengan filtrasi glomerulussedangkan sekresi tubular tidak berperan.hal i8n dapat disimpulkan berdasrkan bersihan ginjal untuk amikasin yang lebih kcil daripada untuk kreatinin masing-maisng 83 mL/min 120 mL/min.bersihan kinamisin dan streptomisin juga demikian

Streptomisin dan gentamisin dapat disekresi dalam jumlah lebih besar melalui empedu sehingga kadarnya cukup tinngi.Streptomisin dosis tinggi mengahsilkan kadar dalam empedu setinggi 10-20/mL.

5). Efek Samping

Efek samping oleh aminoglikosid dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga keloompok

1 alergi

2.reaksi iritasi dengan toksik

3.Perubahan biologik.

Secara umum potensi aminogllikosid untuk menyebabkan alrgi rendah Rash,demam,diskrasia darah,angioedema,dermatitis eksfoliatif,stanfilaksis.omatitis,efek toksi pada aminoglikosid pada saraf otak N.VIII menggenai komponen vestibular maupun akustik.setiap aminoglikosid dapat berpotensi menyebabkan dua efek toksik tersebut tetapi dalam derajat yang berbeda.streptimisin dan gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibular sebaliknya neomisin,kinamisin,amikasin dan hidrokstreptomisin lebih mempengaruhi komponen akustik.otoksitas aminoglikosid .otoksitas aminooglikosidditingkatkan oleh berbagai faktor atar lain besarnnya dosis,adanya gangguan faal ginjal,usia tua,penggunaan oobat ototoksik lain pemberrian bersama asam etakrinat.Efek netrrotoksik kerusakan taraf permulaan ditandai dengan eksresi emzim dari brush border tubulus renal.setelah bebrapa hari terjadi defek emampuan konsentrasi ginjal,proteinuria,filtarsi glomerulus,menurun setelahnya.efek neutosil lainnya adalah pemberianstreptomisin secara intraporitenal sewaktu bedah abdomen dapat menimbulkan gangguan pernapasan akibat hambatan konduksi neuromuskular.

6). Perubahan biologik efek samping dapat bermaniifestasi dalam dua bentuk yaitu ganggaun pada pola mikriba tubuh memunggkinkan terjadinya superinfeksi oleh kuman gram positif,gram negatif maupun jamur.mekanisme hambatan absorbsi ini antar lain terjadi akibat gangguan sistem enzim dan nekrosis sistem epitel kripta usus.

7). Interaksi Obat

Penisilin anti peudomonas yang umum diberikan dalam dosis besar ternyata menginaktivasi aminoglikosid terutama gentamisin dan tobramisin.belu ada bbukti bahwa furosemid dan asam etekrinat meniggkatkan efektifita otoksitas aminoglikosid.sebelum ada kepastian bahwa tidak ada interaksi penggunaan gabungan kedua obat yyang toksik tersebut memerlukan penneliitian yang cermatterhadap tanda dan gejala nefrotoksitas dan otoksitas.peningkatan netrotoksitas juga dilaporkan terjadi bila aminogliokosid diberikan bersama metoksifluran dan indometassi intrravena yang diberikan untuk menutup duktus arteriosus pada neonotus.

8). Sediaan dan Pasologi

Sediaan aminoglikosid dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu

1 Sediaan aminoglikosid sitemik untuk pemberian IM atau Iv yaituamikasin gen ksid topikal,kinamisin dan streptomisin

2. Aminoglikosid topikal terdiri dari aminosidin,kinamisin,neomisisn,gentamisin dan streptomisin.dalam kelompok topikal ini termasuk juga semua aminoglikosid yang diberikan peroral untuk mendapatkan efek lokal dalam lumen saluran cerna.sediaan aminoglikosid pada umumnya tersedia sebagai garam sulfat.

1. Streptomisin

Tersedia untuk bubuk kering dalam viaal yang mengandung 1 ATAU 5 GRAM.Kadar larutan ergantung dari cara pemberian yang direncanakan dan cara penyuntikan yang tergantung dari jenis dan lokasi infeksi.

2. Genntamisin

Tersedia sebaggai larutan steril dalam vial atau ampuh 60 mg/1,5 mL;80 mg:129 mg/3 mLdan 280 mg/Ml.

3. Kanamisin

Untuk suntikan tersedia larutan dalam bubuk kering.Lrutan dalam vial ekuivalen dengan basa kanamisin.500 mg/2 mL.dan 1 g/3 mL Untuk orang dewasa serta 75 mg /2 mL untuk anak.Pemberian IV kadang diberikan sebab absobsi melalui suntikan IM sangat baik.

4. Amikasin

Obat ini tersedian untuk suntiikan IM IV dalam vial berisi 250-500 dan 1000 mg.Dosisnya adalah 500 mg tiap 12 jam 9IM atau IV ).untuk neonatus dianjurkan dosis 15 mg/kgBB/Hari terbagi 2 kali pemberian.

5. Tobramisin

Obat ini tersedia sebagai larutan 80-mg /2 mL untuk suntikan IM.dosis dosis dan cara pemberian sama dengan gentammisin.

Untuk dosis tobramisin dilarytkan dalam dextrosee 5 % atau larutan NaCl isotonis dan diberikan dalam 30-60- menit.

8.Indikasi dan kontaraindikasi penggunaan klinik

Aminoglukosid sekalipun berspektrum antimikroba lebarv jangan digunakan pada setiap jenis infeksi oleh kuman yang sensitif karena

1 resistensi terhadap aminpglukosid terhadap aminoglukosid relatif cepat beerkembang

2.Tositasnya relatif tinggi

3.tersediany berbagai antibiotik yang lain yang cukup efektif dan toksitasnya rendah.



  1. GOLONGAN KUINOLON DAN FLUOROKUINOLON

Asam nalidiksat adalah prototip golongan kuinolon lama yang dipasarkan sekitar tahun 1960. Walaupun obatini mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram-negatif, eliminasi nya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah. Karena itu pengguna asam nalidiksat praktis terbatas sebagai antiseptik saluran kemih saja. Selain itu resistensi cepat timbul terhadap obat itu. Kuinolon lainnya yaitu asam piromidat, asam pipemidat, sinoksasin, dan lain-lain, juga tidak mempunyai kelebihan yang berat.

Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golongan kuinolon baru dengan atom fluor pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan juga fluorokuinolon). Perubahan struktur ini secara dramatis meningkatkan daya antibakterinya, memperlebar spektrum antibakteri, memperbaiki penyerapannya dari saluran cerna, serta memperpanjang masa kerja obat. Golongan fluokuinolon ini dapat digunakan untuk infeksi sistemik.

Dalam garis besarnya golongan kuinolon dapat dibagi menjadi 2 kelompok : (1) kuinolon : kelompok ini tidak mempunyai manfaat klinik untuk pengobatan infeksi sistemik karena kadarnya dalam darah terlalu rendah. Selain itu daya antibakterinya agak lemah dan resistensi juga cepat timbul. Indikasinya terbatas sebagai antiseptik saluran kemih. Yang termasuk dalam kelompok ini ialahasam nalidiksat dan asam pipemidat; (2) Fluorokuinolon : kelompok ini disebut demikian karena adanya atom fluor pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibakteri fluokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompokkuinolon lama. Selain itu kelompok obat ini diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral sehingga dapat diggunakan untuk penanggulangan infeksi berat, khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram-negatif. Daya antibakterinya terhadap kuman Gram-negatifrelatif lemah. Yang termasuk golongan ini ialah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll.

Mekanisme Kerja Dan Spektrum Antibakteri

Bentuk double helix DNA harus dipisahkan menjadi 2 rantai DNA pada saat akan berlangsungnya replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini selalu akan mengakibtkan terjadinya puntiran berlabihan (overwinding) pada double helix DNA sebelum titik pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA girase (topoisimerase II) yang kerjanya menimbukan negative supercoiling. Golongan kuinolon menghambat kerja enzim DNA girase dan bersifat bakterisidal.

Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (= DNA girase) dan IV pada kuman. Enzim topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling (pilinan posited yang berlebihan) pada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.

  • Spektrum Anti Bakteri


Kuinolon yang lama aktif terhadap beberapa kuman Gram-negatif, antara lain E. Coli, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Kuinolon bekerja dengan hambat subunit A dari enzim DNA girase kuman. Akibatnya replikasi DNA terhenti.


Flurokuinolon lama (siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin dll) mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. Coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H. Influenzae, providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitides, N. Gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia enterocolitica. Terhadap kuman Gram-negatif, daya antibakterinya kurang baik.


Flurokuinolon tertentu aktif terhadap beberapa Mikobakterium. Kuman-kuman anaerob pada umumnya resisten terhadap fluorokuinolon. Fluorokuinolon umunya juga aktif terhadap P. aeruginosa, namun yang paling kuat daya antibakterinya ialah siprofloksasin.


Flurokuinolon baru (moksifloksasian, gatifloksasian) mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram-negatif, Gram-negatif, serta kuman-kuman atipik (mycoplasma, Chlamydia, dll). Uji kilnik menunjukan bahwa kuinolon baru ini efektif untuk community acquired pneumonia, eksaserbasi akut bacterial bronchitis kronis, dan sinusitis. Kelompok fluorokuinolon baru ini terkadang disebut “respiratory quinolones”.

  • Resistensi

Mekanisme resistensi malalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun resisten terhadap kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu: (1) Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNa girase kuman berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lain; (2) perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrsi obat ke dalam sel; dan (3) Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux). Ini merupakan mekanisme penting yang menyebabkan resistensi S. pneumuniae terhadap flurokuinolon.

Farmakokinetik

Asam nalidiksat diserap baik oleh saluran cerna tetapi diekskresi dengan cepat melalui ginjal. Obat ini tidak bermanfaat untuk infeksi sistemik. Flurokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan dengan asam nalidiksat. Ofloksasin, levofloksasin, gatifloksasin, dan moksifloksasin adalah fluorokuinolon yang diserap baik sekali pada pemberian oral.

Peflokasasin adalah flurokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paru eliminasinya paling panjang. Bioavailabilitasnya pada pemberian peroral sama dengan pemberian parenteral. Penyerapan siprofloksasin dan mungkin juga fluorokuinorol lainnya terhambat bila diberikan bersama anatasida. Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein. Golongan obat ini didistribusi dengan baik pada beberapaa organ tubuh. Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui kadar hambat minimal untuk kebanykan kuman pathogen selama minimal 12 jam. Slah satu sifat fluorokiunolon yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringn prostat. Beberapa fluorokuinolon seperti siprovloksasin ofvloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Sifat lain fluorokuinolon yang menguntungkan ialah masa paru eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kalis sehari. Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme dihati dan diekskresikan melalui ginjal. Masa paru eliminasi ofvloksasin akan sangat memanjang dalam keadaan gagal ginjal. Sebagian kecil obat akan dikeluarkan melalui empedu. Heoadialisis hanya sedikit mengeluarkan fluorokuinolon dari tubuh sehingga penambahan dosis umunya tidak diperlukan.

Indikasi

Asam nalidiksat dan asam pipemidat hanya digunakan sebagai antiseptik saluran kemih, khususnya untuk sistitis akut tanpa komplikasi pada wanita.

Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antar lain:

  1. Infeksi saluran kemih (ISK)

Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit, termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multi resisten dan P. aeruginosa. Siprovloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringa prostrat dan dapat digunakan untuk terai prostatitis bacterial akut maupunkronis.

  1. Infeksi saluran cerna

Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E. coli dan campylobacter. Siprokloksasin dan ofloksasin mempunyai efektifitas yang baik terhadap demam tifoid. Selain itu kemungkinan status karier juga dikurangi.

  1. Infeksi saluran nafas (ISN)

Secara umum efektifitas fluoronkuinolon generasi pertama (siprofloksasin, ofloksasin, enoksasin) untuk infeksi bacterial saluran napas bawah adlah cukup baik. Namun perlu diperhatikan bahwa kuman S. pneumonia dan S. aureus yang sering menjadi penyebab ISN bawah kurang peka terhadap golongan obat ini.


Kuinolon baru (Gatifloksasin, moksifloksasin, gemifloksasin) dan levo floksasin mempunyai daya antibakteri yang cukup baik terhadap kuman gram-negatif dan kuman atipik penyebab ISN bawah.


Siprofloksasin efektif untuk mengatasi eksaserbasi cysticfi brosis yang didebabkan oleh P. aeruginosa, namun penggunaan obat ini untuk jagka panjang mengakibatkan timbulnya resistensi. Siproflosasin dan ofloksasin merupakan fluorokuinolon yang dapat digunakan dalam pengobatan tuberculosis oleh kuman yang resisten terhadap banyak obat (multidrug resistant) serta mikobakteria atipik.

  1. Penyakit yang ditularkan malalui hubungan seksual

Siprofloksasin oral dan levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriagson dan sefiksin untuk pengobatan uretritis dan servisitis oleh gonokokus. Golongan fluorokuinolon juga katif terhadap H.ducreyi dan C.trachomatis tetapi tidak efektif tehadap T palidum.

  1. Infeksi tulang dan sendi

Siprofloksasin oral dengan dosis 2 kali 500-350 mg/hari yang diberikan selama 4/6 minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka. Angka penyembuhan klinis dapat mencapai 75% untuk osteomielitis yang disebabkan oleh kuman gram-negatif. Dengan pemberian oral ini, pasien dapat berobat jalan sehingga biaya pengobatan banyak berkurang

  1. Infeksi kulit dan jaringn lunak

Fluorokuinolon oral mempunyai efektifitas sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ke tiga (sevotaksin sevtakzidin) untuk pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringan lunak.

  1. Dosis dan posologi

Dosis yang lazim digunakan untuk beberapa fluorokuinolon yang sering digunakan diklinik

Efek Samping

Secara umum dapat dikatakan bahwa efek samping golongan kuinolon sepadan dengan antibiotika golongan lain. Beberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:

  • Saluran cerna

  • Efek samping ini paling sering timbul akibat penggunaan golongan kuinolon (prevalensi sekitar 3-17%) dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak diperut.

  • susunan syaraf pusat

  • yang paling sering dijimpai ialah sakit kepala dan pusing. Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang, dan delirium.

  • Hepatotoksisitas

Efek samping ini jarang dijumpai, namun kematian akibat hepatotoksisitas yang berat pernah terjadi akibat penggunaan trovafloksasin. Karena itu obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi.

  • Kardiotoksisitas

Beberapa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan grepafloksasin (kedua obat ini dipasarkan lagi). Dapat memperpanjang interval Qtc. Pemanjangan interval Qtc ini disebabkan karena obat-obat ini menutup kanal kalium yang dissebut HERG pada miosit yang menyebabkan terjadinya akumulasi dalam miosit. Beberapa kuinolon baru antara lain moksifloksasin juga dapat sedikit memperpanjang Qtc interval dan tidak berbahaya secara klnis. Namun bila obat ini diberikan bersama obat lain yang juga dapat memperpanjang Qtc interval (misalnya terfenadin, siaprid, dan lain-lain) maka dapat timbul aretmia ventrikel yang serius.

  • Disglikemia

Gatif floksasin baru-baru ini dilaporkan dapat menimbulkan hiper atau hipoglikemia, da pasien berusia lanjut. Obta ini tidak boleh diberikan pada pasien diabetes mellitus.

  • Fototoksisitas

Klinaf floksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah fluorokuinolon yang relative sering menimbulkan fototoksisitas

Interaksi obat

Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya :

  • Anatasid dan preparat besi (Fe)

Absorpsi kuinolon dan fluorokuinolon dapat berkurang hingga 50 % atau lebih. Karena itu pembarian antacid dan praparat basi harus diberikan dengan selang waktu 3 jam.


  • Teofilin

Beberapa kuinolon misalnya siprofloksasin, pefloksasin, dan enoksasin menghambat merabolisme teofilin dan maningkatkan kadar teofilin dalam darah sehingga dapat terjadi intiksikasi karena itu pembarian kombiinasi kedua golongan obat ini perlu dihindarkan.

  • Obat-obat yang dapat memperpanjang interval Qtc.

Golongan kuinolon sebaiknya tidak dikombinasikan dengan obat-obat yang dapat memperpanjang Qtc interval, antara lain obat anti aritmia kelas IA (misalnya kuinidin, prokainamid) dan golongan III (misalnya amiodarin, sotalol), terfenadin, dan sisaprid.


  1. ANTIMIKROBA LAIN


  1. ERITROMISIN DAN MAKROLID LAIN

Antibiotika golongan makrolid, mempunyai persamaan yaitu terdapat cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Eritromisin yang dianggap paling penting dari golongan ini akan dibicarakan sebagai contoh utama dari kelompok ini.


    1. Eritromisis

  • Asal dan kimia

Eritromisin dihasilkanolah suatu strain streptomyces erythreus. Zat ini dapat berupa krisatal berwarna kekuningan, larut dalam iar sebanyak 2 mg/ml. Eritromisin larut lebih banyak dalam atanol atau pelarut organik.

Antibiotic ini tidak stabil pada suhu rendah. Aktivitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis. Larutan netral eritromisisn yang disimpan pada suhu kamar akan menurun potensinya dalam beberapa hari, tetapi bila disimpan pada suhu 5 º C biasanya tahan sampai beberapa minggu.

  • Aktivitas antimikroba

Golongan mikrolid menghambat mikrolid sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversibal dengan ribosom subunit 50S, dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka.

  • Spektrum antimikroba

In vitro, efek terbesar eritromisin terhadap kokus Gram-positif, seperti S.pyogenes dan S.pneumoniae. S. viridians mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap eritmosin. S aureus hanya sebagian yang peka terhadap obat ini. Strain S.aureus yang resistensin terhadap eritromisin sering di jumpai di rumah sakit (strain nosokomial). Batang Gram-positif yang peka terhadapp eritromisin ialah C. perfringens, C. diphtheria, dan L. monocytogenes.

  • Resistensi

Resitensi terhadap erotromisin terjadi melalui 3 mekanisme yang diperantarai oleh plasmid yaitu: (1) menurunyya permeabilitas membrane sel kuman, (2) berubahnya reseptor obat pada ribosom kuman, dan (3) hidrolisis obat oleh esterase yang dihasilkan oleh kuman tertentu (Enterobacteriaceae). Resistensi silang terjadi antara berbagai makrolid.

  • Farmakokinetik

Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya menurun karena obat dirusak olah asam lambung, basa eritromisin diberi selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester streat atau atiksuksinat. Adanya makanan juga menghambat penyerapan eritromisin.


Hanya 2-5% eritromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif melalui urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam cairan empedu dpat melebihi 100 x kadar yang tercapai dalam darah.


Masa paru eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,5 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis.


Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Pada ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam sirkulasi darah ibu,


Obat itu diekskresi terutama melalui hati. Dialysis perionial dan hemodialis tidak dapat mengeluarkan eritromisin dari tubuh.

Pada wanita hamil pemberian eritromisin streat dapat meningkatkan sementara kadar SGOT/SGPT.

  • Efek samping

Efek samping yang berat akibat pemakaian eritromisin dan turunannnya jarang terjadi.


Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinifilis dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama ditimbulkan oleh eritromisin estolat (sekarang tidak dipasarkan lagi di indonesia). Kelainan ini bianya menghilang dalam beberapa hari setelah terapi dihentikan . efek samping ini dujimpai pula pada penggunaan eritromisin etilsuksinat tetapi jarang sekali terjadi. Eritromisin oral (terutama dalam dosis besar) sering menimbulkan iritasi saluran cerna seperti mual, mintah, dan nyeri epigastrium. Suntukamn IM dapat menimbulkan sakit yang sangat hebat. Pemberian 1 dengan infuse IV sering disusul oleh timbulnya tromboflebitis.


    1. Spiramisin

Obat ini efektif terhadap kuman stafilokokuds, steptokokus, pnemokokus, enterokokus, Neisseria, Bordetella petusis, Rickettsia, ameba dan toksoplasma. Secara in vitro aktivitas antibakteri spiramisin lbih rendah dari pada eritromisisn.

Spiramisin umunya diberikan peroral. Absorpsi sluran cerna tidak lengkap, namun tidak dipengaruhi olah adanya makanan dalam lambung. Kadar spiramisin dalamberbagai jaringan pada umunya lebih tinggi dari pada kadar antibiotic makrolid lainnya dan bertahan lama walaupun kadar obat ini dalam serum sesudah turun rendah sekali.

Preparat spiramisin yang tersedia ialah bentuk tablet 500 mg, yang setara dengan 1,5 MIU dan tablet 1000 mg yang setara dengan 3,2 MIU.

Dosis orang untuk pasien dewasa ialah 3-4 kali 500 mg sehari. Pada infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan 2 kali lipat. Dosis oral untuk anak ialah 50-75 mg/kgBB sehari, terbagi dalam 2-3 kali pemberian.

Seperti eritromisin, spiramisin, digunakan untuk terapi infeksi rongga mulut dan saluran napas.

Spiramisin digunakan juga sebagai obat alternative untuk pasien toksoplasmosis yang karena sesuatu sebab tidak dapat diobati dengan pirimetamin + sulfonamide (misalnya pada wanita hamil, atau ada kontraindikasi lainnya). Efektivitasnya tidak sebaik pirimetamin + sulfonamide. Dosis yang digunakan untuk indikasi ini ialah 3g/hari yang dibagi dalam 3 dosis, yang diberikan selam kehamilan.

Spiramisin efektif untuk mencegah transmisi transplasental toksoplasma dari ibu ke anak.

Pemberian spiramisin oral kadang-kadang menimbulkan iritasi saluran cerna.


    1. Roksitromisin Dan Klaritromisin

Roksitromisin adalah derivat eritromisin yang diserap dengan baik pada pemberian oral. Obat ini lebih jarang menimbulkan iritasi lambung dibandingkan dengan eritromisin. Bioavailabilitasnya tidak banyak terpengarauh oleh adanya makanan dalam lambung. Kadarnya dalam plasma dan jaringan lebih tinggi dari eritromisin. Masa paruh eliminasinya sekitar 10 jam sehingga obat ini dapat diberikan 2 kali sehari. Penggunaannya sama dengan eritromisin. Dosis oral untuk orang dewasa ialah 2 kali 150 mg sehari. Untuk anak diberikan 5-8 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis.



Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi yang sama seperti eritromisin. Secara in vitro, obat ini adalah makroid yang paling aktif terhadap Chiamydia trachomatis. Dosis oral untuk orang dewasa ialah 2 kali 250-500 mg sehari. Absorpsinya tidak banyak dipengaruhi oleh adanya makanan dalam lambung. Efek samping nya adalah iritasi saluran cerna (lebih jarang dibandingkan dengan eritromisin) dan peningkatan sementara enzim hati. Pada hewan coba, dosis tinggi menimbulkan embriotoksisitas. Klaritromisin juga meningkatkan kadar teofilin dan karbamazepin bila diberikan bersama obat-obat tersebut.


    1. Azitromisin

Obat ini, mempunyai indikasi klinik serupa dengan klaritromisin. Aktivitasnya sangat baik terhadap Chilamydia. Kadar azitromisin yang tercapai dalam serum setelah pemberian serum setelah pemberian oral relatif rendah, tetapi kadar di jaringan dan sel fagosit sangat tinggi. Obat yang disimpan dalam jaringan ini kemudian dilepaskan pelahan-lahan sehngga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitas 3 hari. Dengan demikian, obat cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorpsinya berlangsung cepat, namun terganggu bila diberikan bersama dengan makanan. Obat ini tidak menghambat sitikrom P-450 sehingga praktis tidak menimbulkan masalah interaksi obat.

Dosis azitromisin dapat dilihat pada tabel 46-3.

Indikasi

Dosis

Keterangan

  1. Community-

acquidred pneumonia






  1. Uretritis non spesifik

Dewasa :

1x500 mg/hari

selama 3 hari

Anak :

10 mg/kgBB/hari,

sekali sehari

selama 3 hari


Dewasa :

Dosis tunggal 1 g

Bentuk kemasan:

  • Tablet 250 dan 500 mg

  • Suspensi yang mengandung 200 mg/5 mL





1.5 Telitromisin

Telitromisin adalah antibiotika baru dari golongan keloid yang bekerja pada 2 site of action di ribisom 23S bakteri. Kuman yang peka terhadap obat ini ialah S. aureus. Obat ini diindikasikan untuk : (1) Community-acquired pneumonia ringan dan sedang; (2) Eksaserbasi akut bronkitis kronis; (3) Sinusitis bakterial akut oleh streptokus beetahemolitikus grup A.

Pada pemberian oral, biovailabilitas obat ini hanya 57% namun pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi kelengkapan absorsinya. Obat ini mangalami metabolisme tingkat pertama di hati, Metabolismenya melalui sitokrom P-450 3A4 dan jalur non-CYP.

Pengurangan dosis tidak diperlukan bagi pasien insufisiensi ginjal ringan/ sedang atau gagal fungsi hati. Dosis obat perlu dikurangi 50% untuk pasien dengan klirens kreatinin <30>

Telitrominisin tersedia dalam bentuk tablet 400 mg. Dosisnya ialah 800 mg sekali sehari selama 5 hari, tetapi untuk community-acquired pneumonia diberikan selama 7-10 hari.

Efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat in ialah keluhan saluran cerna yaitu mual, muntah, diare, dan sakit kepala. Obat ini sedikit memperpanjang interval QT namun kelihatannya tidak sampai menimbulkan kemaknaan klinik.

  1. LINKOMISIN DAN KLINDAMISIN


    1. Linkomisin

Pengguna linkomisin dewasa ini telah ditinggalkan karena daya antibakterinya yang lemah dan absorpsinya yang kurang baik dibandingkan dangan klindamisin.

    1. Klindamisin

aktivitas antibakteri

Obat ini pada umumnya aktif terhadap S. aureus, S. pneumoniae, S. pyogenes, S. anaerobic, S. viridans dan Actinomtces isrealli. Klindamisin juga aktif terhadap Bacteroides fraglis dan kuman anaerob lainnya.



farmakokinetik

Klindamisin diserap hampir lengkap pada pemberian oral. Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. Setelah pemberian dosis oral 150 mg biasanya tercapai kadar puncak plasma 2-3μg/mL dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya kira-kira 2,7 jam.

Klindamisin didistribusikn dengan baik ke berbagai cairan tubuh, jaringan dan tulang, kecuali ke CSS walaupun sedang terjadi meningitis. Obat ini dapat menembus sawar uri dengan baik. Kira-kira 90% klindamisin dalam serum terikat dengan albumin. Klindamisin berakumulasi dalam leukosit polimorfonuklear dan makrofag alveolar tetapi makna klinik dari fenomena ini belum jelas.

Hanya sekitar 10% klndamisin diekskresikan delam bentuk asal melalui urin. Sejumlah kecil klindamisin ditemukan dalam feses. Sebagian besar obat dimetabolisme menjadi N-demetiliklindamisin dan klimdamisin sulfoksid untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin dan empedu. Masa paruh eliminasi dapat memanjang sedikit pada pasien gagal ginjal sehingga diperlukan penyesuaian dosis dan pengukuran kadar obat dalam plasma. Hal ini dapat pula terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat.

efek samping

Diare dilapotkan terjadi pada 2-10% pasien yang mendapat klindamisin. Diperkirakan 0,01-10% pasien dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditanai oleh demam,nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinta. Pada pemeriksaan proktoskopik terlihat adanya membran putih kuning apa mukosa kolon. Kelainan yang dapat bersifat fatal ini disebabkan oleh toksin yang diekskresi oleh C. difficile, suatu kuman yang tidak termasuk flora normal usus besar. Penyakit ini sering disebut antibiotic-associated pseudomembranous colitis karena dapat terjadi pada pemberian kebanyakan antibiotika, tetapi paling sering pada klindamisin. Timbulnya penyakit tersebut tidak tergantung dari besarnya dosis dan dapat terjadi pada pemberian oral maupun parental. Gejala dapat muncul selama terapi atau beberapa minggu setelah terapi dihentikan. Bila selama terapi timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin yang akan diberikan 4 kali 125 mg sehari per oral selama 7-10 hari atau metronidazol oral 3x500 mg/hari atau IV. Indikasi penggunaan klindamisin harus dipertimbangkan dengan baik sebelum obat ini diberikan.

sediaan dan posologi

Klindamisin tersedia dalam kapsul 150 dan 300 mg. Selain itu terdapat suspensi oral dengan konsentrasi 75 mg/5 mL.

Dosis oral untuk orang dewasa ialah 150-300 mg tiap 6 jam. Untuk infeksi berat dapat diberikan 450 mg tiap 6 jam. Dosis oral untuk anak ialah 8-16 mg/kgBB sehari yang dibag dalam berbagai dosis. Untuk infeksi berat dapat diberikan sampai 20 mg/kgBB sehari.

Untuk pemberian secara IM atau IV digunakan larutan klindamisin fosfat 150 mg/mL dalam kapsul berisi 2 dan 4 mL. Dosis untuk infeksi berat kokus Gram-positif aerobik ialah 0,6-1,2 g sehari, dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Untuk infeksi berat oleh B. fragilis, Peptococcus atau Clostridiu (kecuali C. perfringens) diberikan dosis 1,2-2,7 g sehari yang dibagi dalam beberapa pemberian. Dosis lebih dari 00 mg sebaiknya tidak disuntikan pada satu tempat. Klindamisin tidak boleh diberikan secara bolus IV, tapi harus diencerkan sampai kadar kurang dari 18 mg/mL dan diinfuskan dengan kecepatan maksimal 30mg/menit.

Untuk anak atau bayi berumur lebih darei 1 bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari, untuk infeksi barat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian.

pengguanaan klinik

Walaupun beberapa infeksi kokus Gram-positif dapat diobati dengan klindamisin, penggunaan obat ini harus dipertimbangkan baik-baik karena mungkin kolitis pseudomembranosa. Klindamisin terutama bermanfaat untuk infeksi kuman anaerobik, terutama B. fragilis.

  1. GLIKOPEPTIDA

Yang termasuk glikopeptida ialah vankomisisn dan teikoplanin.

    1. Vankomisin

Obat ini diserap melalui saluran cerna, dan untuk mendapatkan efek sistemik selalu harus diberikan IV karena pemberian IM menimbulkan nekrosis setempat.

Obat ini hanya aktif terhadap kuman Gram-positif, khususunya golongan kokus. Indikasi utama vankomisin ialah septicemia dan endokarditis yang disebabkan oleh stafilokokus, streptokokus atau enterokokus bila pasien alergi terhadap penicillin dan selafalosporin. Penggunaanya dapat dikombinasikan dengan gentamisin atau aminoglikosid lainnya. Pada pemberian per oral obat ini juga bermanfaat untuk enterokolitis oleh stafilokokus yang biasanya merupakan efek samping antibiotic lain. Vankomisin merupakan obat terpilih untuk infeksi oleh kuman MRSA (methicilin-resistant S. aureus) dan colitis oleh Clostridium difficile akibat penggunaan antibiotik.

Vankomisin HCL tersedia dalam bentuk bubu 500 mg untuk pemberian IV. Dosis untuk dewasa ialah 2-4 gram/hari yang dibagi dalam dua dosisi dan untuk anak 20-40 mg/kgBB/hari. Dosis ini dilarutkan dalam 100-200 ml gram faal atau dekstrosa 5 % dan diberikan IV perlahan-lahan tromboflebitis. Untuk penggunaan obat tersedia bubuk 10 g untuk dilarukan dengan 115 ml air.

    1. Teikoplanin

Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel. Seperti halnya dengan vankomisisn, teikoplamin diindikasikan untuk infeksi berat oleh kuman Gram-positif yaitu stafilokokus (baik yang sensitif maupun yang resisten terhadap metilisin), streptokokus maupun enterokokus. Resisten silang terjadi sebagian dengan vankomisisn, tapi tidak dengan golongan betalaktam atau makrolid.

Pasien yang alergi terhadap vankomisisn mungkin juga bereaksi sama terhadap teikoplamin, namun efek samping the Red Man Syndrome yang terlihat pada vankomisin tidak terlihat pada pemberian obat ini.

Efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan teikoplanin ialah:

  • Rekasi local pada tempat suntikan.

  • Rekasi hipersensitivitas yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk

  • Kenaikan kadar transaminase serum

  • Rekasi hematologic yang bermanifestasi antar lain dalam bentuk trombositopenia, leucopenia, neutropenia, eosinofilia, dan terkadang agarnulositosis

  • Nefrotoksisitas

  • Ototoksisitas berupa ketulian dan/atau gangguan keseimbangan

  • Kelughan saluran cerna berupa mual, muntah dan diare

  • Keluhan pada susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, pusing, dan kejang bila diberikan ventricular.

Pengobatan dengan teikoplanin dimulai dengan memberikan dosis muat 400-800 mg (atau 6-12 mg/kgBB) secara IV setiap 12 jam sebanyak 3 dosis, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 400 mg (6 mg/kgBB) sekali sehari. Lama pengobatan ialah 204 minggu untuk bakteremia dan 3-6 minggu untuk osteomielitis.

Untuk pasien dengan gangguan faal ginjal diperlukan pengurangan dosis sebagai berikut mulai keempat pengobatan.

Klirens keratin (mL/menit)

Dosis


40-60 <40>

50% dari dosis nirmal

30 dari dosis normal


Obat-obat ini tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik (400 mg/vial) yang harus direkonstitusi dulu pada saat akan digunakan. Teikoplanin dapat diberikan IM atau IV. Bila diberikan IV harus disuntikan perlahn-lahan selam 5 menit atau sebaiknya diberi per infus selam 30 menit.

  1. LAIN-LAIN

    1. Polimiksin B

Polimiksin B sekarang hanya diberikan peroral atau topical, jarang secara parental karena sangat nefrotoksik.

Obat ini efektif terhadap berbagai kuman Gram-negatif, khususnya P. aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia, Haemophilus, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella, Pasteurella, Bordertella, dan Vibrio. Obat ini bekerja dengan menggangu fungsi pengaturan ososmosis oleh membran sitoplasma kuman. Resisten terhadap antibiotic ini jarang terjadi.

Untuk penggunaan topical tesedia krimatau salep kulit dan salep mata yang mengandung 5.000-10.000 unit polimiksin B/garm. Obat tetes mata atau telinga menandung 20.000 unit/mL.

    1. Basitrasin

Antibiotic ini bersifat bekterisid terhadap kuman-kuman Gram-positf.

Basitrin tersedia dalam bentuk salep kulit dan mata yang mengandung 500 unit/gram. Gram seng basitrasin juga sering dicampur dengan neomisin sulfat, polimiksin B sulfat dan lain-lain untuk penggunaan topical.

Basitrasin stabil dalam bentuk salep, tetapi tidak stabil dalam bentuk krim.

    1. Natrium Fusidat

Suatu antibacterial steroidal dengan efek bakteriostatik/bakteriosidik terutam terhadap kuman Gram-positf. Natrium fusidat tidak lagi digunakan secara sistemik karena tersedia obat yang lebih aman dan efektif. Asam fusidat tersedia dalam bentuk salep kulit 2 % untuk infeksi kulit superficial oleh syafilokokus.

    1. Mupirosin

Mupirosin efektif menghambat kuman aerobic Gram-positif, termasuk methicillin-resistant S. aureus. Obat ini tidak mempunyai efek yang berarti terhadap klamidia, jamur dan flora normal kulit. Obat ini tersedia dalam bentuk salep 2%. Namun vehikulum obat ini dapat diserap terlalu banya pada lesi yang luas hingga menimbulkan efek nefrotoksik.

    1. Spektinomisin

Spektinomisin digunakan untuk uretritis oleh gonokokus yang resiten terhadap obat lain.

Tidak ada resisten silang antar obat ini dengan antibiotika lain dalam pengobatan gonore. Obat ini biasanya diberikan dalam dosis tunggal 2 g.

Efek sampingnya ialah nyeri ditempat suntikan, terkadang demam dan mual. Obat terpilih untuk gonore sekarang ialah seftriakson 125-250 mg IM dalam dosis tunggal atau sefiksim oral dosis tunggal 499 mg.

    1. Streptogramin

Streptogram merupakan kombinasi tetap dari 2 antibiotika yang strukturnya berlainan yaitu kuinupristin dan dalfopristin dengan rasio 3:7. Seperti eritromisin, antibiotika ini bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman pada tingkat ribosom.

Kombinasi tetap yang relative baru ini aktif terhadap kuman S. aureus (yang resisten maupun sensitif terhadap metisilin), S. epedermidis, S. pneumonia (yang resisten maupun sensitive terhadap penicillin), E. faecium (yang resisten maupun sensitive terhadap vakomisin), streptokokus grup A, B, C, Mycoplasma spp., Legionella spp., H. Influenzae, M. catarrhalis, dan Neiserria spp.

Frekuensi efek samping mual, muntah , dan kemerahan kulit akibat obat ini kurang lebih sama dengan yang ditimbulkan obat lain. Efek samping lain ialah flebitis dan hiperbilirubinemia.

Kombinasi ni selalu diberikan secara IV dan dosisnya ialah 7,5 mg/kgBB setiap 8 atau 12 jam.

Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan dalam bentuk infus IV yang mengandung 150 mg kuinupristin dan 359 mg dalfopristin.

    1. Oksazolidindinon

Linezolid adalah derivate sintetik pertama dari golongan oksazolidindinon. Obat ini aktif terhadap kuman Gram-positif aerobic. Mekanisme kerjaya ialah berikatan dengan ribosom subunit 50S pada kuman yang peka hingga initiation complex 70S tidak dapat dibentuk. Obat ini bersifat bakteriostatistik terhadap enterokokus dan stafilokokus, tetapi bakterisidal terhadap streptokokus.

Efek samping obat ini umumnya bersifat ringan atau sedang dan bermanifestasi dalam bentuk keluhan saluran cerna (mual, muntah dan diare, sembelit), susunan syaraf pusat (sakit kepala, susah tidur, vertigo), trombositopenia dan colitis pseudomembranosa. Linezolid diindikasikan untuk bakteramia, pneumonia (nosokomial dan yang berasal dari komunitas), dan infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh Enterococcus faecium yang resisten terhadap vakomisin, staphylococcuc aureus (baik yang resisten maupun yang sensitive terhadap meticilin , dan streptococcus pneumaniae dan untuk bakteremia, pneumonia, infeksi kulit/struktur kulit dengan penyullit, dosis linesolid ialah 2 kali 600)

    1. Daptomisin

Obat ini termasuk antibiotika golongan lipopeptit suatu kelas antibiotika yang baru. Daptomisin mempunyai mekanisme kerja bermacam-macam yaitu menghambat peptidoglikan mengganggu permebilitas membrane sel. Mengurangi sintesis lipotikuat dan mungkin mengganggu gradient elektrokimia transmembra. Obat ini aktif hanya pada kuman Gram-positif yaitu berbagai jalur kuman S. aureus, Enterococcus dan S. pneumonia. Daptomisin tidak mempunyai aktifivats terhadap Gram-negatif. Obat ini diindikasikan untuk infeksi kulit jaringan lunak seta bakterimia yang disebabkan kuman Gram-positif yang peka.










BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mekanisme antimikroba

  • Menghambat metabolisme sel mikroba

  • Menghambat sintesis dinding

  • Mengganggu keutuhan membran sel mikroba

  • Menghambat sintesis sel mikroba,

  • Menghambat sintesis asam nukleat mikroba

  • Reaksi alergi

  • Reaksi idiosinkrasi

  • Reaksi toksik Perubahan biologik dan metabolik

3.2 Saran

Sebaiknya dalam pembelajaran farmakologi kita harus lebih mengenal jenis obat anastesi yang berhubungan dengan system saraf pusat.serta diperlukan kerja sama yang baik dalam penyususnan makalah ini.Serta pemahaman makalah anastesi semoga dapat digunakan dikalangan mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan dan umumnya dapat bermanfaat pada masyrakat luas.











DAFTAR PUSTAKA

  1. American Medical Association. Drug Evaluations Annual 1995. P. 1689.

  2. Chambers HF. Antimycobacterial drugs. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical Pharmacology. 9th ed.Singapore: McGraw-Hill;2004.p.782-791.

  3. Document WHO/CDS/TB/2000,279.

  4. Petri WA. Jr. Chemotherapy of tuberculosis, Mycobacterium avium complex disease, and leprosy. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York; McGraw-Hill;2006.p.1203-23.

  5. WHO/CDC/TB/2003,313. Treatment of tuberculosis; guidelines for national programmes, 3th edition. Revision approved by STAG, June 2004.